Hari
ini untuk pertama kalinya dalam hidupku ayah dan bundaku mengizinkanku untuk
menginap di rumah sahabatku. Itupun tentu saja karena aku sudah memohon dengan
sangat, dengan alasan menemani sahabatku yang sedang ditinggal oleh ke dua
orangtuanya untuk ibadah umroh.
Sore
hari aku langsung bersiap untuk segera bergegas pergi ke rumah sahabatku,
membawa beberapa pakaian ganti, dan laptop kesayanganku karena aku sedikit berbohong
menginap untuk sekalian mengerjakan tugas kelompok meskipun sepertinya mereka
pun tahu aku sedang tidak ada tugas karena telah beberapa minggu yang lalu
menyelesaikan Ujian Nasional untuk tingkat SMP. Khawatir ayah dan bunda berubah
pikiran dan kemudian tidak mengizinkanku, aku segera pamit untuk pergi ke rumah
sahabatku.
Sesampainya
di depan kompek perumahan Anita, aku turun dari angkutan umum yang aku naiki. Hari
semakin sore dan segera menjelang maghrib, langit sudah berubah warna menjadi
orange, dan aku masih terdiam di depan gerbang komplek dan tidak menemukan satu
ojeg pun yang sedang mangkal di sana. Sedikit menyesal karena saking
terburu-burunya tadi sehingga malah naik angkutan umum dan bukannya naik ojek
online. Karena aku sedang malas jalan kaki, aku langsung mengirim pesan
whatsapp ke grup sahabat segengku dan berharap ada salah satu temanku yang
sudah lebih dahulu berada di rumah Anita ada yang mau menjemputku ke sini.
Sambil
menunggu jemputan, aku mampir ke sebuah mini market yang kebetulan berada tepat
di samping gerbang menuju perumahan untuk memberi beberapa cemilan untuk kami
nanti di rumah Anita. Entah kenapa rasanya aku sangat antusias sekali dengan
acara menginap kali ini, mungkin karena emang ini adalah pertama kalinya jadi
sepertinya ekspektasiku terlalu berlebihan.
Tak
lama menunggu, tiba-tiba sebuah motor matic berwarna biru menghampiriku.
“Hai, lo temennya Anita bukan ya?”
tanya seseorang yang membawa motor matic itu.
“Eh iya.”jawabku spontan sambal
mengangguk.
“Ayo naek!” perintahnya
kemudian.
Aku diam sejenak, masih mencerna
ajakannya. Agak sedikit ragu untuk menerima ajakan seorang laki-laki dengan
motor matic yang tidak ku kenal.
“Tenang aza! Ga bakalan diculik
koq. Nih, aku disuruh Anita jemput temennya, katanya udah lama nunggu di sini.
Ayooo cepetan naik, ntar keburu maghrib!” Sahut lelaki itu seolah dapat membaca
apa yang sedang aku pikirkan.
”Oh... iya!”jawabku singkat
kemudian nurut duduk di kursi motor matic di belakang lelaki itu.
Perjalanan dari depan gerbang
kompek sampai ke rumah Anita ternyata cukup jauh, dan suasananya terasa sangat
canggung. Aku hanya diam, bingung untuk memulai percakapan dengan orang yang
baru kali ini bertemu.
“Lo temen sekolahnya Anita?”
tanya lelaki itu memecahkan keheningan yang ada di antara kami.
“Iya” jawabku singkat.
“Temen se-geng? Koq baru liat?
Baru pertama kali ke rumahnya Anita ya?” tanyanya bertubi-tubi.
“Iya” jawabku masih tetap
singkat.
Sebenarnya ini bukanlah pertama
kalinya aku main ke rumah Anita, sebelumnya aku pernah ke rumahnya untuk kerja
kelompok tugas drama mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi itupun sudah lama
sekali. Aku bukanlah tipe anak yang bisa bebas kelayapan setelah pulang
sekolah. Aku adalah anak tunggal, dan orangtuaku sangat over protektif terhadap
tumbuh kembangku, apalagi soal pergaulanku. Dan akupun bukan tipikal anak
pembangkang, sehingga selama ini aku tetap mengikuti aturan yang dibuat oleh
kedua orangtuaku.
“Ooooh pantes, soalnya yang
paling sering banget keliatan tuh si Delia sama Novia, sampe bosen ngeliatnya.”
Jelas lelaki itu. “Eh sama cewek satu lagi, yang cantik pacarnya si Chandra itu
lupa siapa namanya” sambungnya lagi.
“Rissa” jawabku masih tetap
singkat.
“Nah iya itu… Rissa. Banyak
dikecengin tuh dia sama anak-anak eh malah si Chandra nyolong start duluan”
sahutnya lagi.
Aku hanya tersenyum mendengar
jawabannya. Rissa memang adalah primadona di geng kami, kemanapun kami pergi
selalu dia yang menjadi fokus sorotan utama para lelaki. Rissa memang cantik,
postur tubuh dan wajahnya sangat proforsional khas wanita keturunan Arab-Aceh.
Meskipun begitu, dia yang paling pendiam dan agak sedikit pemalu di antara
kami. Sangat beda jauh dengan Delia yang sangat humoris dan mudah bergaul
meskipun dia memiliki tubuh yang jauh dari proforsional seperti Rissa. Kemudian
Novia, dia memiliki postur tubuh yang paling tinggi di antara kami juga sama
proforsionalnya dengan Rissa, dengan wajah yang lebih eksotik khas keturunan Indonesia
Timur, dia adalah anak yang paling plin-plan dan tidak bisa apabila diminta
memutuskan suatu pendapat. Sedangkan Anita, dia adalah anak yang memiliki rasa
percaya diri sangat tinggi, dia juga mudah bergaul dengan siapapun dan tidak
pernah memilih-milih teman, keluarganya sangat memberikan dia kebebasan untuk
melakukan hal apapun yang dia inginkan. Dan itu kadang membuatku sangat iri
padanya.
“Lo sendiri Namanya siapa?”
sambung lelaki itu kembali.
“Silvanny Vidya Ardiwilaga”
jawabku reflex.
“Lengkap banget nyebutin
namanya, kayak lagi diabsen guru aja” jawabnya sambil sedikit tertawa.
Sebenarnya aku bukanlah orang
yang pendiam, aku adalah anak yang sangat ceria. Namun aku memang pribadi yang
cukup waspada bila baru bertemu dengan orang asing. Kata sahabat se-gengku, aku
ini anak yang mungkin sedikit naif dan idealis, namun sifatku mungkin terlalu
polos sehingga akan sangat mudah dimanfaatkan oleh orang lain. Mungkin karena
itulah temanku tidak terlalu banyak. Temanku hanyalah teman yang aku temui di
sekolah, di tempat bimbingan belajar, atau tetangga yang kebetulan seumuran
denganku. Itupun biasanya aku hanya berteman sewajarnya. Walaupun begitu, aku
bersyukur memiliki sahabat seperti mereka yang selalu menerimaku apa adanya.
Akhirnya motor kami sampai di
depan gerbang rumah Anita.
“Boleh minta tolong ga?” lelaki
itu kembali bersuara.
“Minta tolong apa?” jawabku
masih tetap singkat seperti biasa.
“Tolong bukain gerbangnya donk!
Motornya mau masuk.” Balasnya kemudian.
“Oh iya sebentar” aku kemudian
turun dari motor dan menggeser pintu gerbang sehingga motor yang kami tumpangi
bisa masuk ke dalam halaman parkir.
Aku menutup kembari gerbang,
hendak menuju pintu rumah Anita. Namun aku agak sedikit bengong, melihat ada
cukup banyak motor yang sedang terparkir bebas di depan garasi rumah Anita.
Belum sempat aku berpikir, suara
nyaring Anita terdengar dari dalam rumah.
“Vanny…” Teriak Anita dan Delia
sambil berlari menghampiriku.
“Akhirnya lo nyampe juga.” Muka
Anita tampak lega.
“Kalian lama banget sih?” tanya
Delia. “Lo ga sengaja bawa dia nyasar muter-muter dulu komplek ini kan? Sampai
mantan lo bisa liat kalo lo udah bisa ngebonceng cewek lain.” sambung Delia
lagi sambil menunjuk dan tampak sedikit menghakimi lelaki yang menjemputku.
“Maunya sih gitu, tapi belum
sempet!” jawab lelaki itu sambil mematikan mesin motor yang baru saja kami
tumpangi.
“Makasih ya kak buat
tumpangannya.” Ucapku sambil tersenyum tulus ke arahnya.
“Sama-sama.” Jawabnya sambil
meninggalkan kami dan terlebih dahulu melewati pintu depan rumah Anita.
Melihat aku yang tampak bengong,
Anita langsung membawakan keresek belanjaanku di mini market tadi dan
mengajakku masuk.
“Dia siapa sih Ta?” tanyaku.
Bukan bermaksud penasaran.
“Kak Revan, temennya Kak Aldo.
Udah biarin, jangan dimasukin ke hati! Dia emang gitu orangnya.” Jelas Anita
seperti memahami perubahan raut wajahku.
“Lagian kenapa ga lo aza sih
tadi yang jemput?” tanyaku menghakimi Delia, karena aku tahu Delia sudah sangat
mahir mengemudikan motor matic.
“Tadi kebetulan si Revan lagi
mau pulang dulu ngambil apa gitu ke rumahnya, kebetulan kan dia rumahnya di
komplek ini juga jadi sekalian aza jemput lo ke depan biar efektif dan efisien”
jawab Delia ngasal.
Sesampainya di dalam rumah aku
disambut oleh Novia dan Rissa.
“Akhirnya lo dateng juga, gue
udah khawatir aza kalo Bunda tiba-tiba berubah pikiran dan ga jadi ngizinin lo
buat nginep.” Sahut Novia tampak lega.
“Gue bantuin nyimpen barang
bawaan lo ke kamar Anita yuk!” Rissa menawarkan.
Di antara mereka berempat, aku
memang paling dekat dengan Rissa. Dia seolah selalu mengerti apa yang aku
butuhkan.
* * *
Jam dinding menujukkan pukul
tujuh malam. Rissa dan Anita tengah sibuk di dapur memasak sebisa apapun
makanan instan yang mereka dapat masak untuk makananan kita malam ini. Anita
memang lumayan jago masak dibandingkan yang lainnya, mungkin karena dia sudah
terbiasa ditinggal di rumah untuk tugas dinas oleh orangtuanya. Sementara
Rissa, dia memang paling pengertian pasti akan langsung membantu apapun yang
dia bisa bila dibutuhkan.
Aku hanya duduk manja di sofa
yang berada di depan televisi sambil mencari saluran tv yang dapat kutonton dan
memutuskan untuk menonton saluran tv Korea yang menayangkan drama korea
kesukaanku. Novia tepat berada di sebelahku, tapi dia sedari tadi sedang sibuk
dengan ponselnya dan entah sedang apa. Sedangkan Delia sejak tadi sudah
bergabung dengan Kak Aldo dan teman-temannya yang sedang mabar (main bareng)
game online di ruang sebelah.
Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Muncul foto bundaku di layar ponsel. Aku segera mencari tempat yang lebih
tenang untuk mengangkat panggilannya. Aku ga mau bunda berpikiran macam-macam
dan langsung meluncur menjemputku bila tau disini ada banyak anak cowok teman
Kak Aldo yang juga akan nginep disini.
Karena tidak menemukan tempat
yang tenang di dalam rumah, aku memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon
dari bunda di luar rumah (lebih tepatnya di luar gerbang rumah Anita) karena di
sana suasananya lebih tenang.
Cukup lama aku berbicara dengan
bunda di telpon, sambil menelepon aku berjalan kaki sambil melihat langit malam
ini yang cerah dengan beberapa bintang yang tampak jelas meskipun bulan sedang
berada pada fase tiga perempat hampir purnama. Aku baru tersadar bahwa aku
berada cukup jauh dari rumah Anita setelah menutup panggilan telepon. Aku
celingukan sendiri mencoba mengingat ke arah mana tadi aku berjalan dari rumah
Anita. Tentu saja karena aku berjalan asal tanpa arah aku malah tidak bisa
mengingatnya sama sekali.
“Lo lagi ngapain di sini?”
tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
“Lagi nyari jalan ke rumah
Anita, kayanya aku nyasar deh!” jawabku jujur.
“Koq bisa sampe nyasar? Tadi
emang lo lagi ngapain sampe bisa nyampe ke sini?” tanyanya lagi.
“Tadi lagi nelpon, kan di dalam
rumah Anita berisik banget sama suara temen-temennya Kak Aldo yang lagi pada
mabar, makanya aku ke luar dulu eh malah ga sadar taunya udah nyampe sini.”
Jelasku panjang lebar.
“Oh abis nelpon pacarnya ya?”
tanyanya kepo.
“Bukan telpon dari pacar koq,
tapi dari bunda. Lagian aku ga punya pacar.” Jawabku kemudian menyesali
jawabanku karena harus menegaskan statusku yang masih jomblo.
“Cantik-cantik koq jomblo?”
sahutnya kemudian.
Membuatku makin merasa menyesal
karena keceplosan menjelaskan status kejombloanku barusan.
“Emangnya cewek cantik ga boleh
jomblo?” balasku kesal.
“Iyalah ga boleh. Cewek cantik
itu pamali kalo jomblo! Mendingan jadi pacar gue. Lo mau ga jadi pacar gue?”
Sahutnya lagi, meskipun sedang bercanda namun tentu saja kalimat itu berhasil
membuat jantungku berdetak sangat kencang.
Aku memang belum pernah pacaran
sejak lahir. Meskipun sebenarnya aku pernah dekat dengan beberapa orang anak
laki-laki tapi bagiku semuanya tidak lebih dari sekedar teman. Entahlah mungkin
aku memang belum ingin pacaran. Aku belum siap menjadi orang setengah gila yang
suka senyum-senyum sendiri melihat layar ponsel dan kemudian menangis dan
marah-marah ga jelas saat sedang patah hati.
“Ini rumah gue. Kalo lo mau,
masuk aza dulu nanti gue juga balik lagi ke rumah temen lo koq.” Sahutnya
kemudian.
“Enggak deh kak makasih, aku
duluan aza.” Jawabku menolak.
“Yakin ga malah makin nyasar?”
balasnya lagi.
Aku berpikir sejenak, kemudian
akhirnya menyetujui ajakannya.
Begitu masuk ke dalam rumahnya.
Dua ekor kucing menyapanya, satu kucing berwarna orange kecoklatan dan satu
lagi putih orange langsung menghampirinya. Kulihat dia langsung menggendong
salah satu diantaranya, dan pergi menuju dapur. Sementara itu aku hanya berdiri
mematung di dalam rumahnya.
“Duduk aza dulu! Gue cuma mau
ngasih mereka makan dan susu doank koq.” Sahutnya seolah dapat membaca
pikiranku.
“Oh.. makasih kak.” Jawabku
lantas duduk di kursi ruang tamu.
Mataku berkeliling melihat isi
rumahnya. Di salah satu dinding tampak sebuah foto keluarga. Bila aku mencoba
untuk menebak, anak laki-laki dengan tuxedo dan berusia sekitar lima tahun yang
duduk di kursi itu adalah anak laki-laki yang sama dengan yang ada di hadapanku
saat ini.
“Yuk..” sahutnya membuyarkan
konsentrasiku.
“Kemana?” tanyaku.
“Balik lagi ke rumah temen lo.
Kalo kelamaan berduaan di sini gue takut kita digrebek Pak RT.” Jawabnya
santai.
Aku berdiri dari tempat duduk
dan menuju ke arah pintu. Tidak ingin membayangkan apa yang barusan
dikatakannya.
“Lo ini jadi anak polos banget
ya? Lain kali kalo ada cowok yang ga lo kenal ngajakin masuk ke rumahnya yang
sedang kosong mendingan lo tolak ajakannya, kalo dia maksa mendingan lo kabur
atau teriak.” Ucapnya masih dengan gaya santai.
“Ya mana gue tau kalo rumah lo
kosong.” Jawabku kesal karena entah apa yang dibayangkannya tentangku.
“Wuiiiss ada kemajuan, sekarang
udah berani ngomong elu gue.” Balasnya. “Ya secara harpiah sih rumah gue emang
ga kosong. Ada si Milo dan Moli sepasang kucing Persia yang ga akan bisa
dijadikan saksi kalo tadi gue melakukan sesuatu sama lo.” Lanjutnya sambil
cekikikan.
* * *
Tak lama setelah berjalan
melewati beberapa rumah dan sekali belokan, akhirnya aku dapat melihat gerbang
rumah Anita. Aku langsung mempercepat langkahku agar dapat segera masuk dan
bertemu kembali dengan orang-orang yang aku kenal.
“Abis dari mana Van?” suara Kak
Aldo menyambutku saat baru beberapa langkah aku masuk ke rumah.
“Dari luar kak, abis ngangkat
telpon dari bunda” jawabku.
“Dari rumah, abis ngasih makan
si Milo Moli, terus nganterin cewek yang nyasar deh.” Jawabnya berbarengan
dengan jawabanku.
“Sorry kak, kirain nanya ke
aku.” Balasku saat menyadari bahwa Kak Aldo mungkin bukan bertanya kepadaku
tapi sedang bertanya kepada cowok aneh sahabatnya yang sedang tepat berada di
belakangku.
Menyadari kecanggunganku Kak
Aldo membalas, “Ga papa koq Van, gue nanya sama kalian berdua.
“Makanya mendingan lo jangan di
panggil Vanny, kalo ada yang manggil Van kan jadinya bingung itu manggil lo
atau gue. Mendingan dipanggil Sisil aja dech lebih imut dengernya cocoklah sama
mukanya.” Sahut lelaki itu mencoba kembali menggodaku.
Sesaat langsung gaduh oleh
sahut-sahutan perbincangan teman Kak Aldo yang nyinyir dengan omongan Kak
Revan.
Menyadari pipiku yang mungkin
akan memerah, aku langsung menundukkan kepalaku sambil berlalu menjauhi mereka
menuju sahabatku yang sekarang sedang berkumpul di atas sofa di depan televisi.
Sayup ku dengar Kak Aldo dan
teman-temannya sedang mengolok lelaki itu karena dia menggodaku.
* * *
Malam semakin larut, keempat
sahabatku sudah tertidur pulas dari tadi. Namun entah kenapa aku belum bisa juga
memejamkan mata. Aku bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar Anita yang
kurasa cukup pengap akibat tidur berdesakan. Aku berjalan menuruni tangga
menuju ke arah dapur. Ku lihat beberapa orang teman Kak Aldo ada yang tertidur
di kursi dengan tv dibiarkan menyala. Tak ingin membangunkan mereka, aku
berjalan sangat pelan nyaris tak bersuara menuju ke arah dapur. Membuka lemari
pendingin dan rak makanan, mencari sesuatu yang mungkin bisa ku makan. Namun
sayang sekali, semua makanan sepertinya sudah habis tak tersisa. Maka
kuputuskan untuk mengambil segelas air mineral berharap dengan minum bisa
mengurangi sedikit rasa laparku.
“Lo ngapain jalan
mengendap-mengendap kayak mau maling gitu?” sebuah suara yang sepertinya ku
kenal mengagetkanku dan berhasil membuatku tersedak minuman yang baru melewati
tenggorokkanku.
Äku terbatuk, sambil
memukul-mukul dadaku, berharap bisa mengurangi sedikit rasa sakit karena
tersedak tadi.
“Sorry.. kirain ga lagi minum!”
balasnya sambil memberikan kotak tissue padaku.
“Ga papa koq, thanks!” jawabku
masih sedikit kesal.
“Kebangun atau ga bisa tidur?”
tanyanya.
“Kebangun karena ga bisa tidur.”
Jawabku.
“Yaudah duduk sini, tuh masih
ada martabak. Gue sih ga bisa tidur kalo laper. Lo mau ga?” sepertinya dia
menyadari bahwa dari tadi aku pun sedang mencari makanan.
Aku kemudian duduk di salah satu
kursi terdekat yang mengitari meja makan, tepat di kursi depannya. Melirik
sedikit ke arah bungkusan martabak telur yang masih tersisa dua potong.
“Tinggal dua potong lagi, ini
sih mana bisa kenyang.” Tanpa sadar kalimat itu keluar dari mulutku.
“Ya udah kalo lo ga mau, gue
abisin!” jawabnya sambil mencomot satu potong martabak lagi.
Kini tinggal satu potong
martabak lagi yang tersisa. Karena aku memang sedang kelaparan, jadi aku terpaksa
mengambilnya, dan segera melahapnya.
“Nyari makanan yuk!” ajaknya
sambil menyambar jaket yang ada di atas meja.
“Kemana?” tanyaku penasaran.
“Di depan gerbang kompleks ada
mini market yang buka 24 jam. Nah di depannya suka ada tukang nasi goreng yang
mangkal. Semoga aja masih ada.” Jelasnya.
Karena mendengar ada makanan aku
langsung saja menyetujui ajakannya.
* * *
Di tukang nasi goreng, aku hanya
duduk sambil merapatkan tangan dan kakiku. Lagit malam ini memang cerah, tapi udaranya lumayan sejuk. Sambil menunggu
nasi goreng yang kami pesan selesai dibuat, aku hanya terdiam sambil
mendengarkan lagu yang terdengar dari sebuah speaker kecil yang sepertinya
sengaja dibawa oleh penjual nasi goreng ini untuk membunuh sepi kala menunggu
pelanggan datang.
Tak lama, nasi goreng pesanan
kami datang. Karena sudah menahan lapar dari tadi aku langsung memakannya
dengan lahap sehingga dalam sekejap piring yang berisi nasi goreng tadi sudah
kembali bersih tanpa satu butir nasipun yang tersisa.
“Mau nambah lagi?” sahut lelaki
di sampingku menawarkan.
“Ënggak kak, makasih. Aku udah
kenyang.” Aku nyaris lupa bahwa aku ga sendirian, dan mungkin saja sejak tadi
dia memperhatikanku makan dengan lahapnya.
“Gue sih liat lo makan aja bisa
jadi kenyang loh.” Balasnya lagi. “Ya udah kalo lo udah kenyang, yuk kita balik
lagi ke rumah Anita.” Dia lalu berdiri dari tempat duduknya.
“Bentar kak, masih kekenyangan
nih.” Jawabku sambil menyeruput teh tawar hangat.
“Masih kenyang atau masih betah
disini?” godanya lagi.
Aku reflex langsung berdiri dari
tempat dudukku. “Yaudah kita pulang ke rumah Anita sekarang deh”
Aku lalu merogoh saku celanaku.
Mulai panik karena tidak menemukan selembar uangpun disana. Aku sama sekali
tidak ingat bahwa aku belum sempat mengantongi uang saat diajak kesini. Dengan
memaksakan seulas senyuman, aku menghampiri lelaki itu.
“Kak bayarin dulu ya! Aku lupa
bawa uang.” Sahutku mencoba bernegosiasi.
“Cewek cantik ini, udah jomblo,
makannya banyak, terus lupa bawa uang lagi. Cewek cantik mah bebas mau ngapain
juga.” Jawabnya namun pada akhirnya tetap membayar nasi goreng yang kami pesan.
Setelah keluar dari tenda tukang
nasi goreng, aku langsung duduk di atas motor matic yang dikendarainya menuju
rumah Anita.
“Gue seriusan loh soal pertanyaan
yang tadi.” Sahutnya tiba-tiba.
“Pertanyaan yang mana?” aku
malah balik bertanya.
“Lo mau ga jadi pacar gue?” tanyanya
lagi.
“Hah ga salah? Lo barusan nembak
gue?” balasku kaget mendengar pertanyaannya.
“Iya, emangnya kenapa?” jawabnya
balik bertanya lagi.
“Main langsung nembak, kenal aja
belum, ga ada pedekate segala? Nembak cewek koq ga so sweet kayak gitu,
ga niat.” Jawabku ngasal.
“Terus lo maunya kayak gimana?”
sebenarnya aku sudah sangat terbiasa mendengar jawaban seperti itu.
“Ga gimana-gimana juga.” Jawabku
masih tetap ngasal mencoba untuk ga baper.
* * *
Sesampainya di rumah Anita,
suasana masih tetap sama seperti sebelumnya. Semua orang masih tertidur pulas
sehingga tampaknya tidak aka nada yang menyadari bahwa kami berdua pergi ke
luar rumah untuk beli nasi goreng barusan.
“Nanti hutang nasgornya aku
bayar ya kak, sekarang aku mau balik lagi ke kamar.” Ucapku berpamitan.
“Kalo gitu gue minta nomor
kontak lo!”jawabnya.
“Buat apa kak?” jawabku balas
bertanya.
“Biar gampang kalo mau nagih hutang.”
Balasnya sambil menyodorkan ponselnya ke tanganku.
Aku langsung memijit beberapa
angka nomor ponselku, setelah itu mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.
Lalu bergegas kembali bergabung bersama sahabatku yang tengah tertidur pulas di
kamar Anita.
Baru saja aku melangkahkan
kakiku di beberapa anak tangga.
“Heii.. Silvanny Vidya
Ardiwilaga.” suara lelaki itu memanggilku, membuatku harus berbalik menoleh ke
arah asal suara.
“Nama gue Revan Eka Sanjaya.
Jadi sekarang lo mau jadi cewek gue ga?” entah kenapa cowok itu masih terus
saja menggodaku dengan pertanyaan itu. “Ga usah jawab sekarang koq, pikirin
dulu aza biar ga nyesel. Jangan lupa simpan nomor gue ya!” lanjutnya sambil
mengacungkan layar ponsel ke arahku.
Aku hanya tersenyum mencoba
mengacuhkan meskipun sebenarnya saat itu perasaanku tak karuan, kemudian aku
langsung berbalik menuju tangga yang mengarah ke kamar Anita. Baru dua anak
tangga yang aku pijak, aku kemudian kembali berbalik.
“Hei Revan Eka Sanjaya”
panggilku.
Kak Revan yang masih ada di
posisinya langsung mendongakkan wajah ke arahku.
“Iya gue mau.” Ucapku kemudian.
Kak Revan yang masih tampak
masih bengong dan mencerna ucapanku langsung berubah raut mukanya.
“Lo serius?” tanyanya
meyakinkan.
Aku mengangguk sambil tersipu
malu. “Ga ada salahnya dicoba kan?” jawabku sambil langsung berbalik dan
berlari menaiki tangga menuju ke kamar Anita.
* * *
Sesampainya di kamar, aku
langsung mengambil ponselku. Ternyata ada beberapa pesan WhatsApp yang belum
sempat aku baca. Ada satu nomor yang ga di kenal. Aku langsung tahu bahwa itu
adalah nomor Kak Revan dari pesan yang dikirimkannya.
“Hi cewek cantik yang masih
jomblo dan doyan makan.” Begitulah isi pesannya.
Di bawahnya ada fotoku yang
sedang makan nasi goreng tadi. Aku tidak sadar entah kapan dia mengambil
gambarku tadi.
“Cewek cantiknya sekarang udah
ga jomblo” balasku.
“Pesan itu dikirim tadi, di
detik-detik terakhir saat kamu masih jomblo” balasnya lagi dengan emoji senyum
lebar yang tampak gigi.
“Dih jelek banget fotonya. Hapus
ya!”balasku di pesan.
“Ga akan, sebelum kamu bayar
hutang nasgornya!”
“20rb kan? Aku bayar sekarang
deh, tungguin.”
“Mau bayar hutang nasgor, atau
emang kamu masih kangen sama aku?”balasanya lagi dengan memasang emote
tersenyum.
“Mau bayar hutang nasgor.”
Balasku singkat.
“Cewek cantik mah gratis dech.”
“Sayangnya cewek cantik yang ini
ga suka yang gratisan” balasku lagi.
“Ya udah dech, cewek cantik
cepetan tidur sana! Udah mau pagi. Lain kali aja bayar hutangnya.”
Aku lalu melihat jam yang muncul
pada ponselku sudah menunjukkan pukul 03.15 lewat tengah malam dan suadah
hampir pagi.
“Iya ini juga mau tidur.”
Balasku singkat.
“Selamat tidur ya kamu.”tutupnya
dengan emote cium.
Entah kenapa dia mendadak
memanggil aku dan kamu sejak barusan. Namun aku memilih untuk tidak
memikirkannya dan langsung mematikan layar ponselku, kembali ke posisi tidurku.
* * *
Alarm ponsel Rissa berbunyi
sangat keras tepat pukul lima pagi. Aku yang memang baru tidur kurang dari dua
jam hanya berusaha menutup kuping dan kembali melanjutkan tidur setelah suara
alarm berhenti tanda Rissa sudah bangun. Dan bukan Rissa bila dia tidak
berusaha membangunkan kami untuk melaksanakan sholat subuh. Dia membangunkan
sampai kami benar-benar bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil
wudhu.
Selesai sholat subuh aku kembali
meringkuk di atas kasur, rasanya mataku masih sangat berat dan masih ingin
tertidur. Lagipula ini hari Sabtu. Bagiku seiap hari Sabtu dan Minggu plus hari
libur sekolah maka matahari otomatis baru terbit jam sembilan pagi. Apalagi
karena kejadian semalam yang membuatku baru tertidur lewat tengah malam, sama
sekali bukan kebiasaanku.
Baru saja aku hendak tertidur,
kemudian aku teringat kejadian semalam. Berusaha tersadar dan mengingat apakah
kejadian semalam itu hanyalah mimpi atau nyata. Aku terbangun dan langsung
mengambil ponselku. Berhasil membuat Rissa cukup kaget dengan tingkahku.
“Kenapa sih Van?” tanya Rissa
kaget melihat kelakuanku pagi itu.
“Duh hp gue low lagi nih,
ikut nge-carge donk!” jawabku.
“Tuh masih ada colokan
nganggur!” jawab Delia yang kebetulan juga baru mengisi daya ponselnya.
Aku langsung merogoh tasku,
berusaha mencari pengisi daya ponselku. Setelah menemukan apa yang aku cari,
aku langsung menuju pada colokan listrik untuk mengisi daya ponselku yang sudah
mati karena kehabisan baterai. Setelah itu aku kembali merebahkan badanku di
atas kasur sambil memeluk guling yang kebetulan ada di sebalahku. Novia dan
Anita masih tertidur pulas di posisinya, sama sekali tidak terpengaruh oleh
keributan yang ditimbulkan oleh suara alarm ponsel Rissa tadi.
“Del, ka Revan orangnya kayak
gimana sih?” tanyaku tiba-tiba merasa penasaran dengan orang itu.
“Kok lu tumben sih nanyain cowok?”
Delia malah balik bertanya.
Sebenarnya aku menyesal karena
sudah bertanya, aku ga mau Delia yang nanti malah menjadi lebih penasaran.
“Ya pengen tau aja sih, ga boleh
emang?” jawabku lagi.
“Kalo suka juga ga papa kali
Van, itu artinya lu normal kayak kita.” Sahut Rissa berhasil membuatku menahan
napas sejenak.
“Maksud lo selama ini gue ga normal
gitu?” jawabku kesal.
Delia malah cekikikan mendengar
percakapan antara Rissa dan aku barusan.
“Bukannya gitu Van, cuma kita
sebenernya bingung aja sih. Selama ini kan banyak cowok yang nyoba deketin lo
tapi lo nya cuek terus ga pernah ngerespon, sekalinya ada yang udah deket
banget pun pas dia nembak juga ga pernah diterima. Jadi aneh aja gitu kalo lo
tiba-tiba nanyain cowok” jelas Rissa.
Entahlah mendengar jawaban Rissa
sesaat membuatku mencoba mengingat siapa saja lelaki yang mereka maksud.
“Masa sih? Koq gue ga inget ya?”
hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku.
“Maklum koq, lu mah ga peka kan
orangnya.” Kali ini Delia yang ikut menjawab.
“Ya sudahlah ga jadi nanyanya.”
Jawabku pura-pura ngambek.
“Nah nah.. kalo nona Silvanny
Vidya Ardiwilaga udah ngambek susah nyembuhinnya ga ada badut ultah” sahut
Delia membuatku jadi ingin tertawa.
“Sebenernya gue cuma sedikit
penasaran aja sih, kayanya semalem gue ga sengaja jadian sama dia dh” ucapanku
malah membuat mereka menjadi semakin penasaran.
“Maksudnya ga sengaja jadian
sama dia itu apa?” Delia nampak menjadi penasaran.
“Duh ceritanya panjang, intinya
semalem dia bercandain gue dengan pura-pura nembak gitu, dan gue iseng aza
jawab iya, toh dia juga cuma bercanda nembak gue-nya” jawabku mencoba menjelaskan.
“Kapan dia bercandain lo kayak
gitu? Koq gue ga tau?” Delia malah balik bertanya.
“Semalem, waktu kalian udah pada
tidur” jawabku singkat.
“Kalo semalem dia nembak lo
serius gimana Van?” pertanyaan Rissa membuatku berpikir sejenak.
“Ya kalo semalem dia serius
berarti sekarang kita udah jadian” jawabku ngasal.
“Wah selamat ya, akhirnya
Silvanny ga jomblo lagi. Cuma gue ga nyangka aja ternyata dari sekian banyak
cowok yang nembak lo malah nerima si Revan. Dia itu emang anaknya tengil,
sering banget nyebelin, tapi sebenernya baik sih, mantannya banyak, playboy
gitulah, suka gonta-ganti pacar, tapi wajar sih kan dia ganteng, dan lumayan
tajir juga.” Jelas Delia.
“Tapi gue yakin 100% semalem dia
cuma ngisengin gue doank!” ucapku meyakinkan.
“Dia satu sekolah sama Kak Aldo
ya?” kali ini Rissa ikutan kepo.
“Enggak, mereka pernah nge-band
gitu, nah si Revan jadi gitarisnya. Dia kan tinggal di kompek ini juga, jadi
mereka setongkrongan gitulah sama Kak Aldo makanya lumayan deket” Delia
menjelaskan.
“Lo kenal sama semua temen Kak
Aldo ya?” kali ini aku yg malah mencoba kepo.
“Ga semua sih, cuma kalo sama
temennya Kak Aldo yang sering main kesini kebanyakan gue kenal. Kan gue sering
nginep disini nemenin Anita kalo pas orangtuanya dinas ke luar kota jadi
sedikit banyaknya gue kenal.” Jawab Delia.
“Pernah ada yang jadi mantan lo
juga kan?” Rissa makin kepo.
“Oh Kak Yudhis, itu mah udah
lama, sekarang juga udah biasa lagi. Semalam juga kan udah ngobrol biasa lagi.”
Jawab Delia lagi.
“Koq gue baru tau sih, Kak Yudhis
yang mana sih?” aku jadi kesal saat baru tahu kalo ada mantan Delia di rumah
ini.
“Terus lo juga ga tau kalo gue
sama Anita lagi nyoba dulu-duluan deketin sama Kak Fandi? Atau Rissa yang
bahkan udah jadian sama Kak Chandra? Juga Novia yang sebenernya udah lama
ngecengin Kak Revan? Atau kita yang terus berusaha nyomblangin lu sama banyak cowok?”
jawaban Delia malah membuatku semakin bingung.
“Enggak.” Jawabku sambil nyengir
ga jelas.
Saat itu juga aku baru sadar.
Entahlah sedikit rasa kesal berkecamuk dari dalam diriku, namun aku tak berhak
marah karena memang aku sendiri yang memang agak kurang perhatian dengan
curhatan sahabat-sahabatku. Selama ini setiap sahabatku curhat aku selalu
mendengarkannya, namun tidak pernah benar-benar fokus dengan nama yang mereka
sabut, terlebih lagi aku memang tidak pernah pacaran sebelumnya, jadi biasanya
aku tidak pernah memberikan banyak jawaban dan masukan dari curhatan meraka.
Ini mungkin adalah waktu
terakhirku dengan mereka. Kini kami telah berada pada masa akhir dalam balutan
seragam putih biru. Hanya tinggal menunggu kelulusan, dan seketika itu
kebersamaan kami mungkin akan berakhir. Makanya aku bersikeras minta izin pada
ayah dan bundaku agar aku bisa ikut acara menginap ini, karena mungkin ini akan
menjadi yang terakhir bagiku dengan mereka. Namun ternyata, ekspektasiku
terlalu berlebihan, nyatanya acara menginap bersama itu tidak seindah yang aku
bayangkan.
* * *
Siang harinya aku tak menemukan
sosok Kak Revan dimana pun, entahlah apakah cerita semalam itu nyata atau
tidak. Aku mencoba bersikap biasa seolah tidak terjadi apapun semalam. Walaupun
begitu tak dapat dipungkiri bahwa aku masih menunggu meskipun hanya sebuah
pesan WhatsApp darinya, sementara aku tak mau lebih dulu mengiriminya pesan.
Acara menginap di rumah Anita
yang menjadi acara terakhirku bersama sahabat-sahabat SMP-ku berakhir
menyenangkan, meskipun tidak sesuai ekspektasiku namun aku bahagia karena
banyak melakukan hal-hal seru lainnya. Maskeran bersama, karokean ga jelas,
banyak sesi foto dan curhat, ga ketinggalan eksperimen masak memasak yang lebih
sering gagalnya dari pada berhasilnya. Selain itu aku juga cukup senang karena
bertemu dengan orang-orang baru meskipun mereka adalah sahabatnya Kak Aldo yang
mungkin belum tentu akan kutemui lagi suatu saat nanti.
* * *
Empat bulan telah berakhir sejak
acara menginap malam itu.
Kini aku sudah resmi memakai
seragam putih-abu. Namun sayang, tak satupun di antara kelima sahabatku yang
diterima di SMA yang sama denganku saat ini. Walaupun begitu, kami masih sering
berkomunikasi meskipun hanya sekedar lewat pesan singkat WhatsApp ataupun di
sosial media lainnya.
Kini aku sudah punya
sahabat-sahabat baru dan juga aktivitas baru yang sama sekali berbeda dengan
mereka. Tentu saja mereka pun juga begitu. Sedang mulai menikmati lingkungan
dan suasana baru dengan orang-orang yang baru pula.
Hari Sabtu ini kami berencana
berkumpul setelah sekian lama tak bertemu di dunia nyata. Kebetulan hari itu
adalah perayaan ulang tahun Delia. Tentu saja tak mungkin aku melewatkan untuk
datang ke acara itu.
Dengan menaiki ojek online yang
sudah ku pesan, aku pergi ke rumah Rissa. Di sana Novia sudah lama menunggu.
Kebetulan rumah Rissa dan Novia masih satu komplek, mereka sudah bersahabat
sejak TK sampai sekarang SMA pun mereka selalu sekolah di tempat yang sama.
Sesampainya di rumah Rissa aku
disambut hangat oleh orangtuanya Rissa. Melihat Rissa dan Novia yang dulu
biasanya kutemui hampir setiap hari rasanya ingin membuatku memeluknya. Aku
sangat merindukan sosok mereka. Meskipun di sekolah baru aku sudah memiliki
banyak teman baru, tentu saja tidak ada satupun yang dapat menggantikan posisi
mereka sebagai sahabatku.
Setelah ngobrol sejenak,
akhirnya kami pergi menuju rumah Delia dengan menaiki taksi online. Tak lama,
kami pun sampai di rumah Delia karena jaraknya kebetulan tidak terlalu jauh
dari rumah Rissa.
Setibanya di rumah Delia aku
langsung berlari ke arah Delia dan langsung segera memeluknya, aku sangat rindu
Delia yang sangat percaya diri dan suka bercerita tentang banyak hal termasuk
gossip dari orang-orang yang bahkan tidak pernah aku kenal. Di dalam rumah
Delia sudah ada dekorasi sederhana, namun menurutku cukup cantik. Di sana ada
kedua orang tua Delia dan dua adik perempuannya. Juga ada seorang cowok bernama
Akbar yang kusimpulkan adalah pacar barunya Delia, tiga orang teman dari
sekolah barunya yang kemudian ku ketahui bernama Alissa, Fina dan Yuni.
“Cuma dikitan yang diundangnya
Del?” tanyaku.
“Iya emang cuma kalian doank.
Sengaja emang sederhana.”
“Anita belum dateng ya?” tanya
Rissa saat tak menemukan ada sosok Anita disana, padahal di antara kami rumah
Anita-lah yang justru lokasinya paling dekat dengan rumah Delia.
“Dia ada acara dulu, jadi
palingan agak sore. Nyusul datengnya, jadi ga usah kita tunggu. Kita mulai aja
ya acaranya.” Begitu jawaban Delia saat itu.
Aku sendiri sebenarnya tidak
sedikitpun merasa curiga dengan jawaban Delia, hanya saja entah mengapa justru
Rissa lah yang paling curiga dengan jawaban Delia.
“Delia sama Anita ada masalah
apaan sih? Bukannya sebelumnya mereka deket banget ya?” tanya Rissa sambil
berbisik ke telingaku.
“Tau deh.” Jawabku singkat.
Tidak tahu harus menjawab apa.
* * *
Acara perayaan ulang tahun Delia
telah berakhir. Teman-temannya Delia sudah pulang sejak tadi, sepertinya mereka
megerti dan memberikan kesempatan untuk kami berkumpul kembali. Tinggal Delia,
Rissa, Novia dan aku yang masih tersisa disini. Aku sudah minta izin bunda
untuk menginap di rumah Delia. Kini aku sudah SMA, sehingga bunda sudah tidak
terlalu over protectif mencemaskanku.
Kami masih duduk mengobrol di gazebo
yang menghadap sebuah kolam ikan di halaman samping rumah Delia. Udara malam
yang cukup sejuk, dengan pemandangan langit yang cukup mendung dan hanya tampak
beberapa bintang.
Rissa menghentikan obrolan kami,
dia langsung berlari kecil menuju gerbang dan memeprsilahkan sebuah sepeda
motor masuk. Tampak Kak Chandra dan seorang temannya berjalan menghampiri kami.
“Selamat ulang tahun ya Del.
Nambah tua aja nih.” Ucap Kak Chandra.
“Selamat ya Del, koq gue ga
diundang sih?” ucap temannya Kak Chandra.
“Makasih ya udah nyusul dateng,
bukannya ga mau ngundang tapi kan emang cuma syukuran sederhana.” Jawab Delia.
Setelah mempersilahkan mereka
bergabung dengan kami, Delia masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Novia. Entah
hendak melakukan apa atau pergi kemana aku tidak tahu.
“Hellow Vanny, apa kabar nih?”
tanya Kak Chandra ramah.
“Baik kak, ga pernah ketemu ya?
Padahal sekolah kita kan searah.” Jawabku.
“Iya nih, ga pernah kebeneran
ketemu meskipun cuma sekedar papasan di jalan. Oh iya kenalin temen aku.” Ucap
Kak Chandra seraya memperkenalkan temannya.
“Yoga” ucapnya memperkenalkan
diri.
“Silvanny” jawabku
memeprkenalkan diri.
Kemudian kami mengobrol ringan
tentang beberapa hal. Hanya sekedar basa-basi.
Di tengah obrolan kami,
tiba-tiba gerbang rumah Delia terbuka. Otomatis pandangan kami langsung
beralih. Muncul sosok Anita sambil berjalan menghampiri kami.
“Sorry banget ya gue telat
datengnya, tadi abis nonton anak cowok di sekolah gue maen futsal, kirain cuma
bentar ternyata lama. Ini juga susah banget maksa dia buat dateng kesini.” Anita
mencoba menjelaskan pada kami.
Ekor mataku menangkap sosok
cowok yang datang bersama Anita. Entah mengapa sosok itu nampak agak kurang
ramah dalam pandanganku.
“Delia mana sih?” tanya Anita
polos.
“Di dalem sama Novia, lagi
ngapain gitu blom lama koq masuknya.” Jawabku namun masih fokus pada sosok
cowok yang datang bersama Anita.
“Van gabung sini.” Sahut Kak
Chandra memanggil sosok cowok yang datang dengan Anita, mempertegas sosok yang
aku bayangkan.
Cowok itu mendekat ke arah kami,
aku tak sadar menahan napas namun mataku masih tetap tertuju padanya.
“Beib sini donk gabung. Kayak
apaan aja sih malah diem disitu.” Anita menggandeng dan setengah memaksa cowok
itu untuk masuk.
“Beib?”entah mengapa kalimat itu
meluncur begitu saja padahal hanya terpikir dalam benakku.
“Iya sekarang dia pacar gue, lo
udah pernah kenal dia kan?” tanya Anita polos. Aku memang tidak pernah membahas
tentang hubungan singkatku dengan Kak Revan pada Anita. Namun entah kenapa
melihatnya malam ini justru membuat dadaku sesak.
Delia dan Novia datang membawa beberapa
macam cemilan dan air mineral kemasan gelas untuk kami.
“Del sorry gue telat. Tadi si Revan
maen dulu futsal, terus susah banget diajak kesininya.” Ucap Anita begitu
melihat sosok Delia.
Anita langsung memberinya
pelukan selamat dan memberikan sebuah bingkisan kado ulang tahun untuk Delia.
Delia menerimanya, meskipun aku
tetap merasa ada kecanggungan di antara mereka yang tidak pernah ku tahu apa
itu.
Malam itu kami hanya ngobrol
ringan tentang beberapa hal tentang dunia baru kami, sesekali kami bercerita
tentang beberapa hal yang saling berkaitan atau tak berkaitan sama sekali. Kami
memang beberapa bulan ini hanya bisa berkomunikasi lewat sosial media, tidak
secara langsung tatap muka seperti biasanya. Namun saat kami berkumpul, waktu
yang terpisahkan itu seolah tidak pernah ada. Bahkan saking asiknya kami
membahas beberapa hal, kami bahkan tidak sadar bahwa ada empat orang cowok di
sana yang sama sekali ga mengerti obrolan kami namun masih tetap ikut nimbrung
dengan obrolan kami.
Saat itu aku yakin bahwa Kak
Revan banyak mencuri pandang melirik ke arahku, padahal jelas sekali dia duduk
bersebelahan dengan Anita dan tidak langsung berhadapan arah denganku. Aku yang
saat itu sadar kalau Kak Yoga sedang mencoba mendekatiku entah kenapa malah
memanfaatkan situasi itu. Kadang aku sengaja ngobrol berbisik ke telinganya,
atau sengaja meladeni jokes ga jelas darinya.
“Eh kita foto dong, mumpung
formasi lengkap.” Usul Novia tiba-tiba.
“Eh iya dari tadi kita belum
foto bareng. Kak fotoin deh!” Rissa langsung memberikan ponselnya kepada Kak
Chandra.
Beberapa foto diambil, juga
sebuah video ucapan selamat untuk Delia yang kami unggah di Instagram.
“Kita ikutan foto donk!” Kak
Chandra mengambil inisatif sambil langsung mengubah posisi kamera belakang
menjadi kamera depan dan mengangkat tangannya untuk posisi membidik foto. Kami
semua reflex saling mendekat agar wajah kami bisa masuk ke dalam layar kamera.
“Chan, fotoin gue sama Sisil
donk!” sahut Kak Yoga meminta.
“Sisil” batinku teringat
sesuatu. Namun aku mengabaikannya dan langsung memasang posisi untuk
berswafoto.
“Coba liat fotonya donk.” Ucapku
setelah selesai mamasang beberapa pose konyol bareng Kak Yoga.
Aku memang belum memutuskan
untuk meladeni Kak Yoga yang jelas-jelas sedang berusaha mendekatiku, namun dia
orang yang asik jadi akupun berusaha untuk tidak canggung terhadapnya.
“Wah Vanny yang sekarang udah
berani ya?” komen Delia tiba-tiba.
“Iya nih, Vanny yang sekarang
udah banyak perubahan. Udah ga jaim lagi kalo deket cowok. Udah berani full
ekspresi juga.” Novia ikut mengomentariku.
“Iyalah namanya juga hidup, kita
harus bisa berubah. Jadi anak baik itu rugi, disakitin terus.” Jawabku ngasal
sambil mencoba tertawa menjawab komentar mereka.
“Gue aja sampai agak pangling
loh liat perubahan lo sekarang derastis banget. Berani pake baju ketat, pake
lensa kontak, pake make-up.” Anita malah ikutan berpendapat.
“Apaan sih Ta, orang cuma
bedakan sama lipgloss doank. Baju gue juga ga ketat koq ini, normal koq tren
baju zaman now.” Jawabku menjelaskan.
“Tapi makin cantik loh Van.”
Rissa menambahkan.
“Iya donk, itu sih harus.
Perawatan biar makin cantik, biar makin banyak yang naksir.” Entah kenapa aku
sangat ingin menjawab dengan membanggakan diriku, bukan seperti aku yang
biasanya.
“Resiko kalo sekolah di sekolah
elit gitu ya, mau ga mau kepaksa harus ngikutin gaya dan pergaulan disana.” Kak
Chandra malah ikutan menambahkan.
“Emang sekarang yang lagi
ngecenginnya ada berapa orang? Gue udah masuk itungan belum ya?” Kak Yoga tak
mau ketinggalan ikut mengomentariku.
“Ini kan yang lagi ultahnya
Delia, kenapa gue yang dibahas ya?” sahutku memasang muka bete sambil mencoba
mengalihkan pembicaraan.
Kami lalu kembali beralih topik
pembicaraan.
Malam itu Kak Revan tampak lebih
pendiam dari malam sebelumnya waktu terakhir kami sedang berkumpul di rumah
Anita.
“Del gue balik duluan ya?
Padahal masih seru. Cuma kasian Kak Revan katanya udah keburu cape, kan tadi
abis main futsal.” Anita mencoba berpamitan.
“Lo tumben ga ikutan nginep?
Biasanya lo paling males balik ke rumah” tanyaku.
“Ortu gue lagi ada di rumah,
makanya gue ga bisa pulang terlalu malam. Nih juga udah di WhatsApp ditanyain
terus mau pulang kapan.” Jawab Anita membela diri.
“Yaudah hati-hati, makasih udah
dateng ya Ta.” Jawab Delia.
Anita masih berpamitan dengan
kami satu persatu, namun Kak Revan langsung menuju motornya tanpa sama sekali
berpamitan pada kami semua. Anita langsung buru-buru menyusulnya.
“Guys kita duluan ya..!” ucap Anita
setengah berteriak sambil melambaikan tangannya.
Kak Revan hanya membunyikan
klakson motornya dan seketika itu juga motor mereka keluar gerbang menuju jalan
raya dan segera hilang dari pandangan.
“Kita juga pulang deh, ga enak
sama orangtua kamu udah terlalu malam. Ga enak sama tetangga juga.” Kak Chandra
malah ikut berpamitan.
“Gue juga balik ya Bee.” Akbar
turut bangun dari posisinya.
“Yah koq malah bubar sih?” Delia
tampak protes dengan situasi ini.
“Udah malem juga Del, gue juga
udah pengen mandi nih.” Sahutku berkomentar.
Akhirnya acara kumpul malam itu
berakhir. Kami langsung bergegas masuk dan menuju kamar Delia.
* * *
Di dalam kamar Delia, kami masih
melanjutkan obrolan kami. Aku masih menggunakan handuk piyama karena baru
selesai mandi, uap panas dari tubuhku bahkan masih terasa.
“Lo masih kebiasaan kalo ga
mandi sore ga akan bisa tidur?” tanya Rissa padaku.
“Ga tau kenapa bawaannya ga bisa
tidur kalo blom mandi, kotor dan lengket aza rasanya.” Jawabku.
Delia dan Novia sedang mengobrol
tentang orang yang tidak aku kenal. Maka aku memilih hanya untuk ikut menjadi
pendengar setia. Rissa sedang duduk di tepi kasur sambil memperhatikan layar
ponselnya.
“Kirimin fotonya ke grup
WhatsApp donk Sa.” Ucapku saat mengetahui bahwa Rissa sedang melihat hasil
jepretan tadi.
Tak lama ponselku bergetar tanda
foto yang dikirimkan Rissa sudah masuk ke pesan. Novia dan Delia langsung
mengambil ponselnya dan sibuk memilih foto terbaik mereka yang akan mereka
jadikan snap di sosmed.
Aku yang baru selesai memakai
piyama tidurku lebih memilih untuk mengambil milk cleanser dan toner
untuk membersihkan wajahku dari pada harus membuka ponsel.
“Lo sekarang perawatan? Mau
ribet pake beginian?” tanya Delia yang tampak aneh dengan aktivitasku saat itu.
“Gue kan anak Paskibra, sering
banget panas-panasan kena sinar matahari langsung. Kalo ga dirawat bisa item
muka dan badan gue.” Jawabku sambil tetap melakukan aktivitasku membersihkan
muka.
Hening sejenak, semua orang
kembali sibuk dengan aktivitasnya.
“Del lu lagi ada masalah apa
sama Anita? Koq gue ngerasa ada yang beda ya di antara kalian?” tiba-tiba Rissa
berkomentar.
“Ga ada apa-apa koq.” Jawab
Delia singkat, namun dia tampak memalingkan pandangan dari layar ponsel yang
sebelumnya sedang dilihatnya.
“Ga usah bohong deh, kita semua
tahu banget kalo lo sebelumnya emang deket banget sama Anita. Ga kayak tadi,
canggung gitu.” Aku ikut berkomentar.
“Ceritalah Del.” Novia memaksa.
“Sebenernya sih ga ada apa-apa.
Cuma gue bete aja sama dia. Apapun yang gue suka dia juga pasti suka, kalo gue
lagi deket sama cowok dia juga pasti langsung ikut ngedeketin cowok itu.
Awalnya sih gue nyangkanya saking kita tuh sehati banget makanya banyak kesamaan.
Tapi lambat laun gue jadi mikir kalo dia itu kayak ga mau kalah, mau nguasain
apapun yang gue suka dan gue mau.” Delia menjelaskan sambil terlihat sedikit
menahan rasa kesal yang mungkin sudah lama dipendamnya. “Gue baru tahu kalo
sebenernya dia itu selalu merasa paling segalanya dan harus selalu jadi yang
utama di antara kita. Dia pasti ngerasa bete kalo kita lebih unggul dalam hal
apapun dari dia.” Delia melanjutkan.
“Masa sih dia gitu?” tanyaku
masih belum faham dengan situasi ini.
“Gue tau itu dari temen gue yang
sekarang satu sekolah sama Anita. Dia kadang suka nyeritain kita, tapi dengan
pandangan seolah dialah ketua gengnya dan yang paling menonjol di antara kita.
Malah, dia pernah beberapa kali jelekin gue.” Delia tampak makin kesal
menceritakannya. “Gue rasa ini ada hubungannya sama Yudhis dan Fandy. Yudhis
itu kan mantannya Anita, udah lama mereka putus, tapi Anita masih ngarep kalo
mereka bisa balikan tapi Yudhis malah jadian sama gue. Nah abis itu, kita ga
sengaja ngecengin Fandy padahal kita ga sempat pacaran sama sekali.”
Aku mencoba mengingat sosok
Yudhis dan Fandy, sambil mencerna apa yang diceritakan oleh Delia. Kami terdiam
sesaat, sepertinya semua orang sedang mempertimbangkan pendapat Delia.
“Lo sejak kapan putus sama Revan.”
Tiba-tiba saja Delia mengajukan pertanyaan itu.
“Hah…?” hanya itu yang keluar
dari mulutku.
“Kalian pernah jadian kan?”
Rissa meminta penjelasan.
“Iya kalian kapan putusnya? Eh
tau-tau sekarang udah jadi pacarnya si Anita lagi.” Novia ikut berkomentar.
Ketiga mata sahabatku tertuju
padaku, berharap meminta penjelasan.
“Kita ga pernah putus, atau
tepatnya sejak awal mungkin kita ga bisa dikatakan benar-benar jadian.” Jawabku
bingung dengan situasi ini.
“Maksudnya?” tanya Delia
penasaran.
“Kak Revan emang sempet nembak
gue waktu di rumah Anita, dan gue sempet nerima perasaanya meskipun waktu itu
gue ga tau apakah dia serius atau sedang bercanda. Kalian taulah waktu itu gue
baru pertama kali ketemu dia, belum tau juga dia orangnya kayak gimana. Jadi ya
emang dari awal ga terlalu dianggap serius.” Jelasku.
“Tapi dia punya nomor WhatsApp
lo kan? Dia tau akun sosmed lu kan? Emang ga pernah kontekan? Ga pernah saling
ngabarin, janjian atau jalan bareng?” kali ini Novia malah yang lebih
penasaran.
“Dia punya nomor kontak gue.
Bulan pertama kita masih suka saling kirim pesan atau video call di
WhatsApp, kita pernah sekali jalan berdua cuma buat sekedar makan di café dan
nonton. Bahkan gue masih nyimpen foto waktu itu. Dan abis itu kita ga pernah
saling menghubungi. Padahal malam itu ga ada hal yang terjadi, semuanya
berjalan biasa aja.” Aku mencoba menjelaskan hal yang sebenarnya aku sendiri
pun sudah tidak begitu jelas mengingatnya.
“Lo sendiri sekarang pacar siapa
Vi?”aku balik bertanya pada Novia sambil mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Masih ga punya pacar sejak
terakhir putus sama Dito, gue kan orangnya ga murahan kayak si Delia. Hari ini
putus juga besok udah bisa punya pacar baru.”jawab Novia menyindir.
“Makanya move on dong Vi,
jangan inget mantan terus, dia juga udah punya pacar lagi.”Delia malah balik
menyerang Novia.
Obrolan tentang Anita pun
teralihkan dengan pendapat Novia dan Delia.
“Van, kata Kak Chandra minta
kontak lo boleh ga?” tanya Rissa sesaat setelah menerima pesan WhatsApp dari
pacarnya.
“Buat apa?”jawabku balik
bertanya.
“Katanya Kak Yoga maksa minta.”
Jawab Rissa lagi.
“Ya udah kasih aja.”balasku
singkat.
Aku memang bukanlah orang yang
pemilih dalam berteman, aku baik pada siapaoun yang ingin berteman dan kenal
denganku lebih jauh. Masalah nanti apakah dia berharap lebih dari teman atau
apa itu urusan nanti. Aku hanya tidak ingin menjadi orang yang sombong, itu
saja.
“Van…”panggil Delia terpotong.
Dia masih fokus pada pesan singkat di ponselnya.
Aku langsung mendongak ke arah
Delia.
“Si Revan ada di depan, katanya
ada yang mau dia omongin sama lo.”ucap Delia ragu sambil menatap ke arahku.
“Ngomongin apa sih? Emang kita
pernah akrab?”jawabku agak nyolot.
“Ga tau, katanya penting.”jawab
Delia lagi.
“Bilangin sama dia, udah malem
ga enak sama ortu dan tetangga.”entah kenapa mendengar namanya saja aku jadi
emosi.
“Baru jam delapan, waktu itu
lewat tengah malem lu mau pergi sama dia.” balas Delia lagi menyindirku.
“Lagian ortu gue woles koq. Sana gih temuin dulu! Beresin dulu masalah
kalian.”tegas Delia lagi.
“Gue beneran udah males ngebahas
dia lagi Del. Gue udah lupain masalah itu dari lama. Waktu itu gue hanya sakit
hati, gue hanya mikir mungkin emang guenya aja yang terlalu baper. Hidup gue
udah normal lagi, gue udah lupain itu semuanya. Tapi kalo sekarang dia kayak
gini lagi hati gue sakit.” Jawabku menahan tangis.
Rissa langsung mengelus
punggungku menenangkan. Menatap Delia dengan tajam dan menggelengkan kepalanya
seolah memberi isyarat agar jangan memaksa aku untuk ketemu sama Revan.
“Ya udah kalo gitu gue aja yang
nemuin dia.”Novia berdiri dari posisinya.
“Ga usah Vi. Biar gue aja.”aku
berusaha mencegah Novia. Aku ga mau masalah ini menjadi semakin ribet kalo
Novia malah turun tangan memarahi Revan.
“Lo yakin? Ga papa?”tanya Rissa
meyakinkanku.
Aku menghirup nafas panjang dan
menghembuskannya.
* * *
Aku berjalan ke arah gerbang
rumah Delia. Kebetulan halaman rumah Delia cukup besar, sehingga jarak dari
rumah menuju gerbang cukup jauh. Di belakangku ada ketiga sahabatku yang akan
menungguku di depan teras, bersiap untuk bertindak jika terjadi sesuatu padaku.
Aku membuka gerbang dan langsung
menutupnya. Tampak Kak Revan dan motor matic kesayangannya.
“Mau ngomong apa? Gue ga punya
banyak waktu, langsung aza.”ucapku ketus.
“Bisa ga ngobrolnya di tempat
lain aja? Ga enak ngobrolnya kalo sambil berdiri disini.” jawabnya seolah tidak
terjadi apapun di antara kami.
“Ga usah, di sini aja biar ga
lama. Cepetan mau ngomongin apa?”aku masih ketus.
“Gue mau jelasin soal Anita---“
belum selesai dia menjelaskan aku sudah memotongnya.
“Soal hubungan lo sama Anita?
Selamat ya.”potongku sambil mengacungkan tangan untuk bersalaman.
Revan menerima uluran tanganku
kemudian menurunkannya.
“Itu ga kayak yang lo pikirin
Sill. Antara gue dan Anita ga pernah ada hubungan apapun.”jelasnya sambil
meraih tanganku.
“Gue ga peduli, toh dari awal
kita juga ga pernah ada hubungan apapun, jadi lo ga usah jelasin apapun sama
gue.” Aku menepis tangannya.
“Iya gue tau gue salah, gue
bingung mulai dari mana harus ngejelasinnya.” Ucapnya.
“Ga usah coba ngejelasin koq,
udah jelas.” Jawabku ketus.
“Maafin gue Sil.” Ucapnya lagi,
mencoba menarik tanganku.
Lagi-lagi aku menepis tangannya.
Dengan tatapan membunuh -- seolah mengatakan gue ga takut sama lo, lo udah
berani nyakitin gue sekarang saatnya gue balas dendam -- aku mendongakkan
wajahku menghadap wajahnya meskipun harus tengadah karena tinggi kami yang
tidak seimbang.
“Hidup gue selama ini baik-baik
aja, gue ga terpengaruh dengan lo yang tiba-tiba ilang dan ga pernah ngasih
kabar. Jadi lo ga usah ge-er merasa jadi orang penting dalam hidup gue! Sedetik
pun gue ga pernah inget apalagi mikirin lo, duh ga penting banget.” Kali ini
aku berbicara panjang lebar.
Kak Revan mencoba tersenyum “Syukur
deh kalo gitu, gue tenang dengernya. Maaf gue udah salah faham.” Ucapnya
kemudian.
Aku tersenyum ketus. Kemudian
meninggalkannya di balik pintu gerbang.
Sesungguhnya hatiku sakit saat
itu. Hanya saat itu. Karena sejak awal pun aku memang tidak pernah benar-benar
sepenuh hati dengannya