Senin, 11 Maret 2024

SAMBUTAN WAKIL KEPALA SEKOLAH KURIKULUM (BUKU TAHUNAN 2024)

 

Assalamualaikum wr. wb.

Teriring doa dan ucapan syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta yang telah mengatur langit dan bumi agar tetap berjalan sesuai dengan garis edarnya.

Anak-anakku, saya tahu pasti bahwa perjalanan kalian melewati masa putih abu ini pasti terasa sangat berat. Musim dingin seolah terasa berat dan lebih panjang setiap tahunnya, memaksa kalian untuk bisa terus beradaptasi dengan segala macam perubahan. Menjadi angkatan pertama yang merasakan sekolah dengan kurikulum merdeka, pertama kalinya merasakan suka dukanya mengikuti kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Lalu bagaimana dengan tugas akhir praktik, portofolio dan ujian tulisnya? It’s okay. Semua itu kini sudah berakhir. Walaupun begitu, terima kasih karena kalian sudah berhasil menunjukkan yang terbaik. Terima kasih atas kerja sama dan kerja kerasnya selama tiga tahun ini. Terima kasih karena kalian tetap semangat melalui setiap prosesnya. Meski bayak rintangan yang kalian hadapi, dan membuat kalian lebih sering mengeluh dengan segala keterbatasannya. Namun, terima kasih banyak karena kalian telah bersedia berjuang bersama kami dan tidak pernah menyerah sampai batas akhir.

Kini, kita telah sampai di batas akhir. Angin timur mulai berhembus, meski musim hujan sepertinya belum ingin beranjak pergi. Percayalah bahwa musim semi pasti akan segera datang sebagai pintu yang mengantarkan kalian menuju dunia yang baru. Dunia nyata yang mungkin lebih indah atau bahkan bisa jadi berkali lipat lebih kejam dari apa yang pernah kalian bayangkan sebelumnya.

Terima kasih karena membuat kami tetap semangat untuk terus berjuang agar bisa mengantarkan kalian sampai pada titik ini. Selamat atas kelulusannya. Mohon dimaafkan jika selama ini kami kurang maksimal mendidik kalian. Akan selalu ada harapan yang terselip dalam setiap doa kami. Semoga Allah selalu merahmati setiap langkah dan hembusan nafas kalian. Selamat berterbangan di langit Tuhan yang luas, selamat berjuang mengejar mimpi dan asa untuk menjadi manusia yang lebih tangguh di masa depan.

 

 Sayonara watashi no gokusei…

 

Best regard

Vice Principal of Curriculum

Yuliani Taufik, S.Pd., M.Ling.



Rabu, 08 Februari 2023

SAMBUTAN WAKIL KEPALA SEKOLAH KURIKULUM (BUKU TAHUNAN 2023)

 Assalamualaikum wr. wb.

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan, kekuatan dan kesabaran untuk berjuang melewati tahun demi tahun yang penuh dengan perjuangan. Anak-anakku kelas XII, perjalanan kalian melewati akhir di masa putih abu ini pasti terasa berat untuk kalian, juga untuk kami semua para guru di SMANCAR. Musim dingin seolah terasa berat dan lebih panjang setiap tahunnya, memaksa kalian untuk bisa terus beradaptasi dengan berbagai mode belajar dan kebijakan yang ada

Anak-anakku, mengawali kisah di putih abu di masa pandemi ini memang meninggalkan lebih banyak cerita haru daripada kesan yang mendalam. MPLS online, belajar online, belajar dengan tatap muka terbatas, hingga akhirnya bisa merasakan waktu belajar normal meskipun hanya di akhir perjalanan. Walaupun begitu, terima kasih karena kalian tetap semangat melalui setiap prosesnya. Meski bayak rintangan yang kalian hadapi, dan membuat kalian lebih sering mengeluh dengan segala keterbatasan. Terima kasih karena kalian telah bersedia berjuang bersama kami dan tidak pernah menyerah sampai batas akhir.

Kini, kalian sudah akan tiba di batas akhir. Musim semi akan segera datang, waktunya kalian sambut dengan semangat dan perjuangan baru yang tak pernah henti. Selamat membuka pintu menuju dunia baru, dunia nyata yang lebih indah atau bahkan bisa jadi lebih kejam dari apa yang pernah kalian bayangkan sebelumnya.

Terima kasih karena membuat kami tetap semangat untuk terus berjuang agar bisa mengantarkan kalian sampai pada titik ini. Selamat atas kelulusannya. Mohon dimaafkan jika selama ini kami kurang maksimal mendidik kalian. Selalu ada harapan yang terselip dalam setiap doa kami. Semoga Allah selalu merahmati setiap langkah dan hembusan nafas kalian. Selamat berterbangan di langit Tuhan yang luas.

 Sayonara watashi no gokusei…


Best regard

Vice Principal of Curriculum

Yuliani Taufik, S.Pd., M.Ling.




Kamis, 27 Februari 2020

SAMBUTAN WALI KELAS XII - IPS 3 SMAN 1 CARINGIN TAHUN PELAJARAN 2019-2020


Tahun ini cuaca sangat mudah berganti. Kadang cerah, sesaat berawan, kemudian hujan turun. Seperti halnya kalian yang tak bisa diprediksi. Namun seperti hujan, entah kenapa di ujung jalan ini Bu Ulil baru merasakan bahwa kalian sangat berharga. Kalian semua istimewa dengan apa adanya kalian. Tak perlu kalian menjadi sempurna! Tak perlu kalian menjadi yang terbaik! Cukuplah tetap menjadi diri kalian yang seperti itu. Karena seperti apapun kalian, Bu Ulil tetap akan selalu membela dan menyayangi sepenuh hati.
Terima kasih karena kalian telah bahagia punya walas kayak Bu Ulil, walaupun bawelnya ga ketulungan dan suka ngajakin baku hantam! Walau pun begitu, sejujurnya Bu Ulil selalu merasa gagal menjadi walas kalian, karena belum bisa menjadikan kalian kompak dan saling menyayangi satu sama lainnya. Maaf jika satu tahun ini mungkin tidak ada moment yang berkesan untuk kalian. Maaf jika Bu Ulil belum bisa sepenuhnya menjadi sosok walas yang sesuai dengan ekspektasi kalian.
Terima kasih untuk satu tahun yang berharga ini. Teruntuk Ifin yang penuh percaya diri, selalu semangat dan membawa keceriaan di kelas; Avi yang manja namun berkemauan keras dan teguh pendirian; Atika yang kalem dan cuek; Dilla yang banyak bacot dengan volume maksimal tapi euweuh kawani; Irlan si tengil yang mukanya kayak nantangin ngajak berantem; Endul dengan kata-kata sok bijaknya; Meli si bawel yang suka berspekulasi; Dzikri “Black” yang suka gigitaran ga jelas bikin berisik kelas; Ozi si cowok Tangguh yang selalu sabar “tetap semangat menjalani hidup ya!”; Irfan si behel, kumis tipis dan rambut klimis; Bintang sang operator teknisi dan spesialis infokus; Oval yang suka gaze dan slalu promosi setiap saat; Padil yang suka ngasih janji palsu; Aul yang udah mulai show up dan ga lagi sependiam dulu; Iman si cowok bawel yg suka gaze dan ngeselin; Memet yang doyan banget ngutang namun slalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, Riyan yang kalem dan kalo ngomong selalu terstruktur dengan kecepatan yang stabil; Rizki Ludo yang suka asruk-asrukan ke gunung; Jasmine yang akhirnya bisa dapetin si dia yang lebih baik; Nazib si mantan ketua rohis yang selalu membawa perdamaian; Upe yang penuh dengan fantasi dan imajinasi; Futri “harus yakin da  percaya dengan kemampuanmu”; Repi yang suka ngomong pake bahasa planet padahal cuma dia yang ngerti; Resa yang suka senyum dan ketawa ga jelas; Nadia “semoga selalu sehat dan semangat”, Tondi si Trouble Maker yang suka banget ngelanggar tata tertib sekolah; Intan si mantan ketua osis yang sebenernya agak gesrek; Janew yang gampang banget panik; Syaila yang entah kapan bisa dewasa; Syifa yang dewasa dan selalu bisa diandalkan “maaf jika tahun ini Bu Ulil terlalu sering merepotkan dan membebani! Terima kasih banyak atas bantuannya.”; Chacha yang polos dan suka senyum meski ga ngerti ngomongin apa; Ara si pendekar silat paling jagoan di kelas; dan Virly yang kalem, lemah lembut serta ga neko-neko.
Pokoknya terima kasih banyak buat kalian, tim baku hantam yang hobinya ngajakin gelut dan bikin emosi jiwa.
Selamat berterbangan di langit Tuhan yang luas. Selamat berjuang di kehidupan sesungguhnya. Semoga kita bisa bersilaturahmi kembali di masa yang akan datang.
Karena dalam setiap rinduku, akan selalu terselip doa untuk kalian.
Sayonara watashino gokusei..

Jumat, 08 Maret 2019

SAMBUTAN WALI KELAS XII - IPS 1 TAHUN AJARAN 2018-2019 SMANCAR


Angin timur mulai berhembus, namun musim hujan justru masih enggan beranjak pergi. Entah mengapa rasanya rasi bintang cepat sekali berganti. Bumi sudah hampir 3x berevolusi menemani kalian di sekolah ini, mengukir berjuta kenangan indah yang mungkin menemani kisah masa putih abu kalian.
Sejujurnya Bu Ulil masih butuh waktu lebih lama untuk bisa mengenal kalian lebih jauh. Walaupun begitu, terima kasih karena kalian sudah menjadi anak-anak yang baik dan tidak pernah menjengkelkan, tidak pernah membuatku menyesal menjadi walas kalian. Justu Bu Ulil yang sangat menyesal karena tidak dapat menjadi walas terbaik bagi kalian. Meskipun susah sekali membuat kalian kompak, tapi setidaknya kita sempat menciptakan banyak kesan yang cukup dalam.
Terima kasih banyak teruntuk satu tahun yang menyenangkan ini. Teruntuk Adis yang bawel dan selalu berisik plus kalo ngomong volume maksimal, Amel yang misterisus “Semoga mau lebih membuka hatinya untuk teman lainnya”, Devi yang entah kenapa tatapan matanya itu berasa nusuk sampe ke jantung, Dewi yang kalem dan super cuek, Dimas si beatbox, Ellsya yang pipinya tampak imut kalo senyum, Elsa yang fotogenik, Erni sang biduan, Eva yang idealis ga jelas, Gilardi yang ga pernah mau ngajakin Bu Ulil ke rumahnya, Gustiano yang entah kenapa selalu tampak sangat kharismatik, Iis yang dewasa pemikirannya, Indri yang selalu mikirin pendapat orang “mulailah belajar bersikap bodo amat sama para haters!”, si Zidan yang suka nyolong kesempatan buat ngerokok di wc, Aksal yang always stay cool, Iyung si hitam manis, Irsan yang punya cinta dalam hati sama seseorang yg udah jadi pacar orang, Sadli si kumis tipis dan cowok penggoda, Fahmi sang ketua kelas yang selalu bisa diandalkan dalam segala hal, M. Yoga yang kalo dimarahin malah senyum-senyum aja, Yuda si dancer K-Pop, Neng Devi si ranking satu yang ternyata pembalap profesional, Novi Irawan “semoga lekas sehat”, Opet si ratu goyang yang selalu bisa punya cara untuk menikmati hidup, Rivaldi si anak ayah yang suka nyeletuk ngeselin tapi gek-gek, Sela si jipon yang paling menor di kelas, Halimah yang pendiam dan ga banyak komen, Mala yang selalu masa bodo namun berani melawan ketidakadilan, Soulthan yang suka gaze namun tetap penuh percaya diri, Tia si cempreng, Radja si anak mami yang ngomongnya susah banget dikontrol, Chika si bendahara yang entah kapan bakalan gedenya, Yoga si cowok bawel yang suka punya banyak cara dan ide gila buat bikin kelas rame ga jelas, dan Yuni yang paling rajin datang pagi dan bersihin kelas. Bagaimanapun adanya kalian, Bu Uliel tetaplah bangga dengan diri kalian yang seperti itu.
Selamat berterbangan di langit Tuhan yang luas. Selamat berjuang di kehidupan sesungguhnya. Semoga kita bisa bersilaturahmi kembali di masa yang akan datang.
Karena dalam setiap rinduku, akan selalu terselip doa untuk kalian.
Sayonara watashino gokusei..


Jumat, 20 Juli 2018

CINTA PERTAMA (BAHKAN TAK PERNAH DIMULAI)


Hari ini untuk pertama kalinya dalam hidupku ayah dan bundaku mengizinkanku untuk menginap di rumah sahabatku. Itupun tentu saja karena aku sudah memohon dengan sangat, dengan alasan menemani sahabatku yang sedang ditinggal oleh ke dua orangtuanya untuk ibadah umroh.
Sore hari aku langsung bersiap untuk segera bergegas pergi ke rumah sahabatku, membawa beberapa pakaian ganti, dan laptop kesayanganku karena aku sedikit berbohong menginap untuk sekalian mengerjakan tugas kelompok meskipun sepertinya mereka pun tahu aku sedang tidak ada tugas karena telah beberapa minggu yang lalu menyelesaikan Ujian Nasional untuk tingkat SMP. Khawatir ayah dan bunda berubah pikiran dan kemudian tidak mengizinkanku, aku segera pamit untuk pergi ke rumah sahabatku.
Sesampainya di depan kompek perumahan Anita, aku turun dari angkutan umum yang aku naiki. Hari semakin sore dan segera menjelang maghrib, langit sudah berubah warna menjadi orange, dan aku masih terdiam di depan gerbang komplek dan tidak menemukan satu ojeg pun yang sedang mangkal di sana. Sedikit menyesal karena saking terburu-burunya tadi sehingga malah naik angkutan umum dan bukannya naik ojek online. Karena aku sedang malas jalan kaki, aku langsung mengirim pesan whatsapp ke grup sahabat segengku dan berharap ada salah satu temanku yang sudah lebih dahulu berada di rumah Anita ada yang mau menjemputku ke sini.
Sambil menunggu jemputan, aku mampir ke sebuah mini market yang kebetulan berada tepat di samping gerbang menuju perumahan untuk memberi beberapa cemilan untuk kami nanti di rumah Anita. Entah kenapa rasanya aku sangat antusias sekali dengan acara menginap kali ini, mungkin karena emang ini adalah pertama kalinya jadi sepertinya ekspektasiku terlalu berlebihan.
Tak lama menunggu, tiba-tiba sebuah motor matic berwarna biru menghampiriku.
“Hai, lo temennya Anita bukan ya?” tanya seseorang yang membawa motor matic itu.
“Eh iya.”jawabku spontan sambal mengangguk.
“Ayo naek!” perintahnya kemudian.
Aku diam sejenak, masih mencerna ajakannya. Agak sedikit ragu untuk menerima ajakan seorang laki-laki dengan motor matic yang tidak ku kenal.
“Tenang aza! Ga bakalan diculik koq. Nih, aku disuruh Anita jemput temennya, katanya udah lama nunggu di sini. Ayooo cepetan naik, ntar keburu maghrib!” Sahut lelaki itu seolah dapat membaca apa yang sedang aku pikirkan.
”Oh... iya!”jawabku singkat kemudian nurut duduk di kursi motor matic di belakang lelaki itu.
Perjalanan dari depan gerbang kompek sampai ke rumah Anita ternyata cukup jauh, dan suasananya terasa sangat canggung. Aku hanya diam, bingung untuk memulai percakapan dengan orang yang baru kali ini bertemu.
“Lo temen sekolahnya Anita?” tanya lelaki itu memecahkan keheningan yang ada di antara kami.
“Iya” jawabku singkat.
“Temen se-geng? Koq baru liat? Baru pertama kali ke rumahnya Anita ya?” tanyanya bertubi-tubi.
“Iya” jawabku masih tetap singkat.
Sebenarnya ini bukanlah pertama kalinya aku main ke rumah Anita, sebelumnya aku pernah ke rumahnya untuk kerja kelompok tugas drama mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi itupun sudah lama sekali. Aku bukanlah tipe anak yang bisa bebas kelayapan setelah pulang sekolah. Aku adalah anak tunggal, dan orangtuaku sangat over protektif terhadap tumbuh kembangku, apalagi soal pergaulanku. Dan akupun bukan tipikal anak pembangkang, sehingga selama ini aku tetap mengikuti aturan yang dibuat oleh kedua orangtuaku.
“Ooooh pantes, soalnya yang paling sering banget keliatan tuh si Delia sama Novia, sampe bosen ngeliatnya.” Jelas lelaki itu. “Eh sama cewek satu lagi, yang cantik pacarnya si Chandra itu lupa siapa namanya” sambungnya lagi.
“Rissa” jawabku masih tetap singkat.
“Nah iya itu… Rissa. Banyak dikecengin tuh dia sama anak-anak eh malah si Chandra nyolong start duluan” sahutnya lagi.
Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya. Rissa memang adalah primadona di geng kami, kemanapun kami pergi selalu dia yang menjadi fokus sorotan utama para lelaki. Rissa memang cantik, postur tubuh dan wajahnya sangat proforsional khas wanita keturunan Arab-Aceh. Meskipun begitu, dia yang paling pendiam dan agak sedikit pemalu di antara kami. Sangat beda jauh dengan Delia yang sangat humoris dan mudah bergaul meskipun dia memiliki tubuh yang jauh dari proforsional seperti Rissa. Kemudian Novia, dia memiliki postur tubuh yang paling tinggi di antara kami juga sama proforsionalnya dengan Rissa, dengan wajah yang lebih eksotik khas keturunan Indonesia Timur, dia adalah anak yang paling plin-plan dan tidak bisa apabila diminta memutuskan suatu pendapat. Sedangkan Anita, dia adalah anak yang memiliki rasa percaya diri sangat tinggi, dia juga mudah bergaul dengan siapapun dan tidak pernah memilih-milih teman, keluarganya sangat memberikan dia kebebasan untuk melakukan hal apapun yang dia inginkan. Dan itu kadang membuatku sangat iri padanya.
“Lo sendiri Namanya siapa?” sambung lelaki itu kembali.
“Silvanny Vidya Ardiwilaga” jawabku reflex.
“Lengkap banget nyebutin namanya, kayak lagi diabsen guru aja” jawabnya sambil sedikit tertawa.
Sebenarnya aku bukanlah orang yang pendiam, aku adalah anak yang sangat ceria. Namun aku memang pribadi yang cukup waspada bila baru bertemu dengan orang asing. Kata sahabat se-gengku, aku ini anak yang mungkin sedikit naif dan idealis, namun sifatku mungkin terlalu polos sehingga akan sangat mudah dimanfaatkan oleh orang lain. Mungkin karena itulah temanku tidak terlalu banyak. Temanku hanyalah teman yang aku temui di sekolah, di tempat bimbingan belajar, atau tetangga yang kebetulan seumuran denganku. Itupun biasanya aku hanya berteman sewajarnya. Walaupun begitu, aku bersyukur memiliki sahabat seperti mereka yang selalu menerimaku apa adanya.
Akhirnya motor kami sampai di depan gerbang rumah Anita.
“Boleh minta tolong ga?” lelaki itu kembali bersuara.
“Minta tolong apa?” jawabku masih tetap singkat seperti biasa.
“Tolong bukain gerbangnya donk! Motornya mau masuk.” Balasnya kemudian.
“Oh iya sebentar” aku kemudian turun dari motor dan menggeser pintu gerbang sehingga motor yang kami tumpangi bisa masuk ke dalam halaman parkir.
Aku menutup kembari gerbang, hendak menuju pintu rumah Anita. Namun aku agak sedikit bengong, melihat ada cukup banyak motor yang sedang terparkir bebas di depan garasi rumah Anita.
Belum sempat aku berpikir, suara nyaring Anita terdengar dari dalam rumah.
“Vanny…” Teriak Anita dan Delia sambil berlari menghampiriku.
“Akhirnya lo nyampe juga.” Muka Anita tampak lega.
“Kalian lama banget sih?” tanya Delia. “Lo ga sengaja bawa dia nyasar muter-muter dulu komplek ini kan? Sampai mantan lo bisa liat kalo lo udah bisa ngebonceng cewek lain.” sambung Delia lagi sambil menunjuk dan tampak sedikit menghakimi lelaki yang menjemputku.
“Maunya sih gitu, tapi belum sempet!” jawab lelaki itu sambil mematikan mesin motor yang baru saja kami tumpangi.
“Makasih ya kak buat tumpangannya.” Ucapku sambil tersenyum tulus ke arahnya.
“Sama-sama.” Jawabnya sambil meninggalkan kami dan terlebih dahulu melewati pintu depan rumah Anita.
Melihat aku yang tampak bengong, Anita langsung membawakan keresek belanjaanku di mini market tadi dan mengajakku masuk.
“Dia siapa sih Ta?” tanyaku. Bukan bermaksud penasaran.
“Kak Revan, temennya Kak Aldo. Udah biarin, jangan dimasukin ke hati! Dia emang gitu orangnya.” Jelas Anita seperti memahami perubahan raut wajahku.
“Lagian kenapa ga lo aza sih tadi yang jemput?” tanyaku menghakimi Delia, karena aku tahu Delia sudah sangat mahir mengemudikan motor matic.
“Tadi kebetulan si Revan lagi mau pulang dulu ngambil apa gitu ke rumahnya, kebetulan kan dia rumahnya di komplek ini juga jadi sekalian aza jemput lo ke depan biar efektif dan efisien” jawab Delia ngasal.
Sesampainya di dalam rumah aku disambut oleh Novia dan Rissa.
“Akhirnya lo dateng juga, gue udah khawatir aza kalo Bunda tiba-tiba berubah pikiran dan ga jadi ngizinin lo buat nginep.” Sahut Novia tampak lega.
“Gue bantuin nyimpen barang bawaan lo ke kamar Anita yuk!” Rissa menawarkan.
Di antara mereka berempat, aku memang paling dekat dengan Rissa. Dia seolah selalu mengerti apa yang aku butuhkan.

*          *          *

Jam dinding menujukkan pukul tujuh malam. Rissa dan Anita tengah sibuk di dapur memasak sebisa apapun makanan instan yang mereka dapat masak untuk makananan kita malam ini. Anita memang lumayan jago masak dibandingkan yang lainnya, mungkin karena dia sudah terbiasa ditinggal di rumah untuk tugas dinas oleh orangtuanya. Sementara Rissa, dia memang paling pengertian pasti akan langsung membantu apapun yang dia bisa bila dibutuhkan.
Aku hanya duduk manja di sofa yang berada di depan televisi sambil mencari saluran tv yang dapat kutonton dan memutuskan untuk menonton saluran tv Korea yang menayangkan drama korea kesukaanku. Novia tepat berada di sebelahku, tapi dia sedari tadi sedang sibuk dengan ponselnya dan entah sedang apa. Sedangkan Delia sejak tadi sudah bergabung dengan Kak Aldo dan teman-temannya yang sedang mabar (main bareng) game online di ruang sebelah.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Muncul foto bundaku di layar ponsel. Aku segera mencari tempat yang lebih tenang untuk mengangkat panggilannya. Aku ga mau bunda berpikiran macam-macam dan langsung meluncur menjemputku bila tau disini ada banyak anak cowok teman Kak Aldo yang juga akan nginep disini.
Karena tidak menemukan tempat yang tenang di dalam rumah, aku memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon dari bunda di luar rumah (lebih tepatnya di luar gerbang rumah Anita) karena di sana suasananya lebih tenang.
Cukup lama aku berbicara dengan bunda di telpon, sambil menelepon aku berjalan kaki sambil melihat langit malam ini yang cerah dengan beberapa bintang yang tampak jelas meskipun bulan sedang berada pada fase tiga perempat hampir purnama. Aku baru tersadar bahwa aku berada cukup jauh dari rumah Anita setelah menutup panggilan telepon. Aku celingukan sendiri mencoba mengingat ke arah mana tadi aku berjalan dari rumah Anita. Tentu saja karena aku berjalan asal tanpa arah aku malah tidak bisa mengingatnya sama sekali.
“Lo lagi ngapain di sini?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
“Lagi nyari jalan ke rumah Anita, kayanya aku nyasar deh!” jawabku jujur.
“Koq bisa sampe nyasar? Tadi emang lo lagi ngapain sampe bisa nyampe ke sini?” tanyanya lagi.
“Tadi lagi nelpon, kan di dalam rumah Anita berisik banget sama suara temen-temennya Kak Aldo yang lagi pada mabar, makanya aku ke luar dulu eh malah ga sadar taunya udah nyampe sini.” Jelasku panjang lebar.
“Oh abis nelpon pacarnya ya?” tanyanya kepo.
“Bukan telpon dari pacar koq, tapi dari bunda. Lagian aku ga punya pacar.” Jawabku kemudian menyesali jawabanku karena harus menegaskan statusku yang masih jomblo.
“Cantik-cantik koq jomblo?” sahutnya kemudian.
Membuatku makin merasa menyesal karena keceplosan menjelaskan status kejombloanku barusan.
“Emangnya cewek cantik ga boleh jomblo?” balasku kesal.
“Iyalah ga boleh. Cewek cantik itu pamali kalo jomblo! Mendingan jadi pacar gue. Lo mau ga jadi pacar gue?” Sahutnya lagi, meskipun sedang bercanda namun tentu saja kalimat itu berhasil membuat jantungku berdetak sangat kencang.
Aku memang belum pernah pacaran sejak lahir. Meskipun sebenarnya aku pernah dekat dengan beberapa orang anak laki-laki tapi bagiku semuanya tidak lebih dari sekedar teman. Entahlah mungkin aku memang belum ingin pacaran. Aku belum siap menjadi orang setengah gila yang suka senyum-senyum sendiri melihat layar ponsel dan kemudian menangis dan marah-marah ga jelas saat sedang patah hati.
“Ini rumah gue. Kalo lo mau, masuk aza dulu nanti gue juga balik lagi ke rumah temen lo koq.” Sahutnya kemudian.
“Enggak deh kak makasih, aku duluan aza.” Jawabku menolak.
“Yakin ga malah makin nyasar?” balasnya lagi.                              
Aku berpikir sejenak, kemudian akhirnya menyetujui ajakannya.
Begitu masuk ke dalam rumahnya. Dua ekor kucing menyapanya, satu kucing berwarna orange kecoklatan dan satu lagi putih orange langsung menghampirinya. Kulihat dia langsung menggendong salah satu diantaranya, dan pergi menuju dapur. Sementara itu aku hanya berdiri mematung di dalam rumahnya.
“Duduk aza dulu! Gue cuma mau ngasih mereka makan dan susu doank koq.” Sahutnya seolah dapat membaca pikiranku.
“Oh.. makasih kak.” Jawabku lantas duduk di kursi ruang tamu.
Mataku berkeliling melihat isi rumahnya. Di salah satu dinding tampak sebuah foto keluarga. Bila aku mencoba untuk menebak, anak laki-laki dengan tuxedo dan berusia sekitar lima tahun yang duduk di kursi itu adalah anak laki-laki yang sama dengan yang ada di hadapanku saat ini.
“Yuk..” sahutnya membuyarkan konsentrasiku.
“Kemana?” tanyaku.
“Balik lagi ke rumah temen lo. Kalo kelamaan berduaan di sini gue takut kita digrebek Pak RT.” Jawabnya santai.
Aku berdiri dari tempat duduk dan menuju ke arah pintu. Tidak ingin membayangkan apa yang barusan dikatakannya.
“Lo ini jadi anak polos banget ya? Lain kali kalo ada cowok yang ga lo kenal ngajakin masuk ke rumahnya yang sedang kosong mendingan lo tolak ajakannya, kalo dia maksa mendingan lo kabur atau teriak.” Ucapnya masih dengan gaya santai.
“Ya mana gue tau kalo rumah lo kosong.” Jawabku kesal karena entah apa yang dibayangkannya tentangku.
“Wuiiiss ada kemajuan, sekarang udah berani ngomong elu gue.” Balasnya. “Ya secara harpiah sih rumah gue emang ga kosong. Ada si Milo dan Moli sepasang kucing Persia yang ga akan bisa dijadikan saksi kalo tadi gue melakukan sesuatu sama lo.” Lanjutnya sambil cekikikan.
*          *          *

Tak lama setelah berjalan melewati beberapa rumah dan sekali belokan, akhirnya aku dapat melihat gerbang rumah Anita. Aku langsung mempercepat langkahku agar dapat segera masuk dan bertemu kembali dengan orang-orang yang aku kenal.
“Abis dari mana Van?” suara Kak Aldo menyambutku saat baru beberapa langkah aku masuk ke rumah.
“Dari luar kak, abis ngangkat telpon dari bunda” jawabku.
“Dari rumah, abis ngasih makan si Milo Moli, terus nganterin cewek yang nyasar deh.” Jawabnya berbarengan dengan jawabanku.
“Sorry kak, kirain nanya ke aku.” Balasku saat menyadari bahwa Kak Aldo mungkin bukan bertanya kepadaku tapi sedang bertanya kepada cowok aneh sahabatnya yang sedang tepat berada di belakangku.
Menyadari kecanggunganku Kak Aldo membalas, “Ga papa koq Van, gue nanya sama kalian berdua.
“Makanya mendingan lo jangan di panggil Vanny, kalo ada yang manggil Van kan jadinya bingung itu manggil lo atau gue. Mendingan dipanggil Sisil aja dech lebih imut dengernya cocoklah sama mukanya.” Sahut lelaki itu mencoba kembali menggodaku.
Sesaat langsung gaduh oleh sahut-sahutan perbincangan teman Kak Aldo yang nyinyir dengan omongan Kak Revan.
Menyadari pipiku yang mungkin akan memerah, aku langsung menundukkan kepalaku sambil berlalu menjauhi mereka menuju sahabatku yang sekarang sedang berkumpul di atas sofa di depan televisi.
Sayup ku dengar Kak Aldo dan teman-temannya sedang mengolok lelaki itu karena dia menggodaku.

*          *          *

Malam semakin larut, keempat sahabatku sudah tertidur pulas dari tadi. Namun entah kenapa aku belum bisa juga memejamkan mata. Aku bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar Anita yang kurasa cukup pengap akibat tidur berdesakan. Aku berjalan menuruni tangga menuju ke arah dapur. Ku lihat beberapa orang teman Kak Aldo ada yang tertidur di kursi dengan tv dibiarkan menyala. Tak ingin membangunkan mereka, aku berjalan sangat pelan nyaris tak bersuara menuju ke arah dapur. Membuka lemari pendingin dan rak makanan, mencari sesuatu yang mungkin bisa ku makan. Namun sayang sekali, semua makanan sepertinya sudah habis tak tersisa. Maka kuputuskan untuk mengambil segelas air mineral berharap dengan minum bisa mengurangi sedikit rasa laparku.
“Lo ngapain jalan mengendap-mengendap kayak mau maling gitu?” sebuah suara yang sepertinya ku kenal mengagetkanku dan berhasil membuatku tersedak minuman yang baru melewati tenggorokkanku.
Ă„ku terbatuk, sambil memukul-mukul dadaku, berharap bisa mengurangi sedikit rasa sakit karena tersedak tadi.
“Sorry.. kirain ga lagi minum!” balasnya sambil memberikan kotak tissue padaku.
“Ga papa koq, thanks!” jawabku masih sedikit kesal.
“Kebangun atau ga bisa tidur?” tanyanya.
“Kebangun karena ga bisa tidur.” Jawabku.
“Yaudah duduk sini, tuh masih ada martabak. Gue sih ga bisa tidur kalo laper. Lo mau ga?” sepertinya dia menyadari bahwa dari tadi aku pun sedang mencari makanan.
Aku kemudian duduk di salah satu kursi terdekat yang mengitari meja makan, tepat di kursi depannya. Melirik sedikit ke arah bungkusan martabak telur yang masih tersisa dua potong.
“Tinggal dua potong lagi, ini sih mana bisa kenyang.” Tanpa sadar kalimat itu keluar dari mulutku.
“Ya udah kalo lo ga mau, gue abisin!” jawabnya sambil mencomot satu potong martabak lagi.
Kini tinggal satu potong martabak lagi yang tersisa. Karena aku memang sedang kelaparan, jadi aku terpaksa mengambilnya, dan segera melahapnya.
“Nyari makanan yuk!” ajaknya sambil menyambar jaket yang ada di atas meja.
“Kemana?” tanyaku penasaran.
“Di depan gerbang kompleks ada mini market yang buka 24 jam. Nah di depannya suka ada tukang nasi goreng yang mangkal. Semoga aja masih ada.” Jelasnya.
Karena mendengar ada makanan aku langsung saja menyetujui ajakannya.

*          *          *

Di tukang nasi goreng, aku hanya duduk sambil merapatkan tangan dan kakiku. Lagit malam ini memang cerah,  tapi udaranya lumayan sejuk. Sambil menunggu nasi goreng yang kami pesan selesai dibuat, aku hanya terdiam sambil mendengarkan lagu yang terdengar dari sebuah speaker kecil yang sepertinya sengaja dibawa oleh penjual nasi goreng ini untuk membunuh sepi kala menunggu pelanggan datang.
Tak lama, nasi goreng pesanan kami datang. Karena sudah menahan lapar dari tadi aku langsung memakannya dengan lahap sehingga dalam sekejap piring yang berisi nasi goreng tadi sudah kembali bersih tanpa satu butir nasipun yang tersisa.
“Mau nambah lagi?” sahut lelaki di sampingku menawarkan.
“Ă‹nggak kak, makasih. Aku udah kenyang.” Aku nyaris lupa bahwa aku ga sendirian, dan mungkin saja sejak tadi dia memperhatikanku makan dengan lahapnya.
“Gue sih liat lo makan aja bisa jadi kenyang loh.” Balasnya lagi. “Ya udah kalo lo udah kenyang, yuk kita balik lagi ke rumah Anita.” Dia lalu berdiri dari tempat duduknya.
“Bentar kak, masih kekenyangan nih.” Jawabku sambil menyeruput teh tawar hangat.
“Masih kenyang atau masih betah disini?” godanya lagi.
Aku reflex langsung berdiri dari tempat dudukku. “Yaudah kita pulang ke rumah Anita sekarang deh”
Aku lalu merogoh saku celanaku. Mulai panik karena tidak menemukan selembar uangpun disana. Aku sama sekali tidak ingat bahwa aku belum sempat mengantongi uang saat diajak kesini. Dengan memaksakan seulas senyuman, aku menghampiri lelaki itu.
“Kak bayarin dulu ya! Aku lupa bawa uang.” Sahutku mencoba bernegosiasi.
“Cewek cantik ini, udah jomblo, makannya banyak, terus lupa bawa uang lagi. Cewek cantik mah bebas mau ngapain juga.” Jawabnya namun pada akhirnya tetap membayar nasi goreng yang kami pesan.
Setelah keluar dari tenda tukang nasi goreng, aku langsung duduk di atas motor matic yang dikendarainya menuju rumah Anita.
“Gue seriusan loh soal pertanyaan yang tadi.” Sahutnya tiba-tiba.
“Pertanyaan yang mana?” aku malah balik bertanya.
“Lo mau ga jadi pacar gue?” tanyanya lagi.
“Hah ga salah? Lo barusan nembak gue?” balasku kaget mendengar pertanyaannya.
“Iya, emangnya kenapa?” jawabnya balik bertanya lagi.
“Main langsung nembak, kenal aja belum, ga ada pedekate segala? Nembak cewek koq ga so sweet kayak gitu, ga niat.” Jawabku ngasal.
“Terus lo maunya kayak gimana?” sebenarnya aku sudah sangat terbiasa mendengar jawaban seperti itu.
“Ga gimana-gimana juga.” Jawabku masih tetap ngasal mencoba untuk ga baper.

*          *          *

Sesampainya di rumah Anita, suasana masih tetap sama seperti sebelumnya. Semua orang masih tertidur pulas sehingga tampaknya tidak aka nada yang menyadari bahwa kami berdua pergi ke luar rumah untuk beli nasi goreng barusan.
“Nanti hutang nasgornya aku bayar ya kak, sekarang aku mau balik lagi ke kamar.” Ucapku berpamitan.
“Kalo gitu gue minta nomor kontak lo!”jawabnya.
“Buat apa kak?” jawabku balas bertanya.
“Biar gampang kalo mau nagih hutang.” Balasnya sambil menyodorkan ponselnya ke tanganku.
Aku langsung memijit beberapa angka nomor ponselku, setelah itu mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. Lalu bergegas kembali bergabung bersama sahabatku yang tengah tertidur pulas di kamar Anita.
Baru saja aku melangkahkan kakiku di beberapa anak tangga.
“Heii.. Silvanny Vidya Ardiwilaga.” suara lelaki itu memanggilku, membuatku harus berbalik menoleh ke arah asal suara.
“Nama gue Revan Eka Sanjaya. Jadi sekarang lo mau jadi cewek gue ga?” entah kenapa cowok itu masih terus saja menggodaku dengan pertanyaan itu. “Ga usah jawab sekarang koq, pikirin dulu aza biar ga nyesel. Jangan lupa simpan nomor gue ya!” lanjutnya sambil mengacungkan layar ponsel ke arahku.
Aku hanya tersenyum mencoba mengacuhkan meskipun sebenarnya saat itu perasaanku tak karuan, kemudian aku langsung berbalik menuju tangga yang mengarah ke kamar Anita. Baru dua anak tangga yang aku pijak, aku kemudian kembali berbalik.
“Hei Revan Eka Sanjaya” panggilku.
Kak Revan yang masih ada di posisinya langsung mendongakkan wajah ke arahku.
“Iya gue mau.” Ucapku kemudian.
Kak Revan yang masih tampak masih bengong dan mencerna ucapanku langsung berubah raut mukanya.
“Lo serius?” tanyanya meyakinkan.
Aku mengangguk sambil tersipu malu. “Ga ada salahnya dicoba kan?” jawabku sambil langsung berbalik dan berlari menaiki tangga menuju ke kamar Anita.
*          *          *

Sesampainya di kamar, aku langsung mengambil ponselku. Ternyata ada beberapa pesan WhatsApp yang belum sempat aku baca. Ada satu nomor yang ga di kenal. Aku langsung tahu bahwa itu adalah nomor Kak Revan dari pesan yang dikirimkannya.
“Hi cewek cantik yang masih jomblo dan doyan makan.” Begitulah isi pesannya.
Di bawahnya ada fotoku yang sedang makan nasi goreng tadi. Aku tidak sadar entah kapan dia mengambil gambarku tadi.
“Cewek cantiknya sekarang udah ga jomblo” balasku.
“Pesan itu dikirim tadi, di detik-detik terakhir saat kamu masih jomblo” balasnya lagi dengan emoji senyum lebar yang tampak gigi.
“Dih jelek banget fotonya. Hapus ya!”balasku di pesan.
“Ga akan, sebelum kamu bayar hutang nasgornya!”
“20rb kan? Aku bayar sekarang deh, tungguin.”
“Mau bayar hutang nasgor, atau emang kamu masih kangen sama aku?”balasanya lagi dengan memasang emote tersenyum.
“Mau bayar hutang nasgor.” Balasku singkat.
“Cewek cantik mah gratis dech.”
“Sayangnya cewek cantik yang ini ga suka yang gratisan” balasku lagi.
“Ya udah dech, cewek cantik cepetan tidur sana! Udah mau pagi. Lain kali aja bayar hutangnya.”
Aku lalu melihat jam yang muncul pada ponselku sudah menunjukkan pukul 03.15 lewat tengah malam dan suadah hampir pagi.
“Iya ini juga mau tidur.” Balasku singkat.
“Selamat tidur ya kamu.”tutupnya dengan emote cium.
Entah kenapa dia mendadak memanggil aku dan kamu sejak barusan. Namun aku memilih untuk tidak memikirkannya dan langsung mematikan layar ponselku, kembali ke posisi tidurku.

*          *          *

Alarm ponsel Rissa berbunyi sangat keras tepat pukul lima pagi. Aku yang memang baru tidur kurang dari dua jam hanya berusaha menutup kuping dan kembali melanjutkan tidur setelah suara alarm berhenti tanda Rissa sudah bangun. Dan bukan Rissa bila dia tidak berusaha membangunkan kami untuk melaksanakan sholat subuh. Dia membangunkan sampai kami benar-benar bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Selesai sholat subuh aku kembali meringkuk di atas kasur, rasanya mataku masih sangat berat dan masih ingin tertidur. Lagipula ini hari Sabtu. Bagiku seiap hari Sabtu dan Minggu plus hari libur sekolah maka matahari otomatis baru terbit jam sembilan pagi. Apalagi karena kejadian semalam yang membuatku baru tertidur lewat tengah malam, sama sekali bukan kebiasaanku.
Baru saja aku hendak tertidur, kemudian aku teringat kejadian semalam. Berusaha tersadar dan mengingat apakah kejadian semalam itu hanyalah mimpi atau nyata. Aku terbangun dan langsung mengambil ponselku. Berhasil membuat Rissa cukup kaget dengan tingkahku.
“Kenapa sih Van?” tanya Rissa kaget melihat kelakuanku pagi itu.
“Duh hp gue low lagi nih, ikut nge-carge donk!” jawabku.
“Tuh masih ada colokan nganggur!” jawab Delia yang kebetulan juga baru mengisi daya ponselnya.
Aku langsung merogoh tasku, berusaha mencari pengisi daya ponselku. Setelah menemukan apa yang aku cari, aku langsung menuju pada colokan listrik untuk mengisi daya ponselku yang sudah mati karena kehabisan baterai. Setelah itu aku kembali merebahkan badanku di atas kasur sambil memeluk guling yang kebetulan ada di sebalahku. Novia dan Anita masih tertidur pulas di posisinya, sama sekali tidak terpengaruh oleh keributan yang ditimbulkan oleh suara alarm ponsel Rissa tadi.
“Del, ka Revan orangnya kayak gimana sih?” tanyaku tiba-tiba merasa penasaran dengan orang itu.
“Kok lu tumben sih nanyain cowok?” Delia malah balik bertanya.
Sebenarnya aku menyesal karena sudah bertanya, aku ga mau Delia yang nanti malah menjadi lebih penasaran.
“Ya pengen tau aja sih, ga boleh emang?” jawabku lagi.
“Kalo suka juga ga papa kali Van, itu artinya lu normal kayak kita.” Sahut Rissa berhasil membuatku menahan napas sejenak.
“Maksud lo selama ini gue ga normal gitu?” jawabku kesal.
Delia malah cekikikan mendengar percakapan antara Rissa dan aku barusan.
“Bukannya gitu Van, cuma kita sebenernya bingung aja sih. Selama ini kan banyak cowok yang nyoba deketin lo tapi lo nya cuek terus ga pernah ngerespon, sekalinya ada yang udah deket banget pun pas dia nembak juga ga pernah diterima. Jadi aneh aja gitu kalo lo tiba-tiba nanyain cowok” jelas Rissa.
Entahlah mendengar jawaban Rissa sesaat membuatku mencoba mengingat siapa saja lelaki yang mereka maksud.
“Masa sih? Koq gue ga inget ya?” hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku.
“Maklum koq, lu mah ga peka kan orangnya.” Kali ini Delia yang ikut menjawab.
“Ya sudahlah ga jadi nanyanya.” Jawabku pura-pura ngambek.
“Nah nah.. kalo nona Silvanny Vidya Ardiwilaga udah ngambek susah nyembuhinnya ga ada badut ultah” sahut Delia membuatku jadi ingin tertawa.
“Sebenernya gue cuma sedikit penasaran aja sih, kayanya semalem gue ga sengaja jadian sama dia dh” ucapanku malah membuat mereka menjadi semakin penasaran.
“Maksudnya ga sengaja jadian sama dia itu apa?” Delia nampak menjadi penasaran.
“Duh ceritanya panjang, intinya semalem dia bercandain gue dengan pura-pura nembak gitu, dan gue iseng aza jawab iya, toh dia juga cuma bercanda nembak gue-nya” jawabku mencoba menjelaskan.
“Kapan dia bercandain lo kayak gitu? Koq gue ga tau?” Delia malah balik bertanya.
“Semalem, waktu kalian udah pada tidur” jawabku singkat.
“Kalo semalem dia nembak lo serius gimana Van?” pertanyaan Rissa membuatku berpikir sejenak.
“Ya kalo semalem dia serius berarti sekarang kita udah jadian” jawabku ngasal.
“Wah selamat ya, akhirnya Silvanny ga jomblo lagi. Cuma gue ga nyangka aja ternyata dari sekian banyak cowok yang nembak lo malah nerima si Revan. Dia itu emang anaknya tengil, sering banget nyebelin, tapi sebenernya baik sih, mantannya banyak, playboy gitulah, suka gonta-ganti pacar, tapi wajar sih kan dia ganteng, dan lumayan tajir juga.” Jelas Delia.
“Tapi gue yakin 100% semalem dia cuma ngisengin gue doank!” ucapku meyakinkan.
“Dia satu sekolah sama Kak Aldo ya?” kali ini Rissa ikutan kepo.
“Enggak, mereka pernah nge-band gitu, nah si Revan jadi gitarisnya. Dia kan tinggal di kompek ini juga, jadi mereka setongkrongan gitulah sama Kak Aldo makanya lumayan deket” Delia menjelaskan.
“Lo kenal sama semua temen Kak Aldo ya?” kali ini aku yg malah mencoba kepo.
“Ga semua sih, cuma kalo sama temennya Kak Aldo yang sering main kesini kebanyakan gue kenal. Kan gue sering nginep disini nemenin Anita kalo pas orangtuanya dinas ke luar kota jadi sedikit banyaknya gue kenal.” Jawab Delia.
“Pernah ada yang jadi mantan lo juga kan?” Rissa makin kepo.
“Oh Kak Yudhis, itu mah udah lama, sekarang juga udah biasa lagi. Semalam juga kan udah ngobrol biasa lagi.” Jawab Delia lagi.
“Koq gue baru tau sih, Kak Yudhis yang mana sih?” aku jadi kesal saat baru tahu kalo ada mantan Delia di rumah ini.
“Terus lo juga ga tau kalo gue sama Anita lagi nyoba dulu-duluan deketin sama Kak Fandi? Atau Rissa yang bahkan udah jadian sama Kak Chandra? Juga Novia yang sebenernya udah lama ngecengin Kak Revan? Atau kita yang terus berusaha nyomblangin lu sama banyak cowok?” jawaban Delia malah membuatku semakin bingung.
“Enggak.” Jawabku sambil nyengir ga jelas.
Saat itu juga aku baru sadar. Entahlah sedikit rasa kesal berkecamuk dari dalam diriku, namun aku tak berhak marah karena memang aku sendiri yang memang agak kurang perhatian dengan curhatan sahabat-sahabatku. Selama ini setiap sahabatku curhat aku selalu mendengarkannya, namun tidak pernah benar-benar fokus dengan nama yang mereka sabut, terlebih lagi aku memang tidak pernah pacaran sebelumnya, jadi biasanya aku tidak pernah memberikan banyak jawaban dan masukan dari curhatan meraka.
Ini mungkin adalah waktu terakhirku dengan mereka. Kini kami telah berada pada masa akhir dalam balutan seragam putih biru. Hanya tinggal menunggu kelulusan, dan seketika itu kebersamaan kami mungkin akan berakhir. Makanya aku bersikeras minta izin pada ayah dan bundaku agar aku bisa ikut acara menginap ini, karena mungkin ini akan menjadi yang terakhir bagiku dengan mereka. Namun ternyata, ekspektasiku terlalu berlebihan, nyatanya acara menginap bersama itu tidak seindah yang aku bayangkan.

*          *          *

Siang harinya aku tak menemukan sosok Kak Revan dimana pun, entahlah apakah cerita semalam itu nyata atau tidak. Aku mencoba bersikap biasa seolah tidak terjadi apapun semalam. Walaupun begitu tak dapat dipungkiri bahwa aku masih menunggu meskipun hanya sebuah pesan WhatsApp darinya, sementara aku tak mau lebih dulu mengiriminya pesan.
Acara menginap di rumah Anita yang menjadi acara terakhirku bersama sahabat-sahabat SMP-ku berakhir menyenangkan, meskipun tidak sesuai ekspektasiku namun aku bahagia karena banyak melakukan hal-hal seru lainnya. Maskeran bersama, karokean ga jelas, banyak sesi foto dan curhat, ga ketinggalan eksperimen masak memasak yang lebih sering gagalnya dari pada berhasilnya. Selain itu aku juga cukup senang karena bertemu dengan orang-orang baru meskipun mereka adalah sahabatnya Kak Aldo yang mungkin belum tentu akan kutemui lagi suatu saat nanti.

*          *          *

Empat bulan telah berakhir sejak acara menginap malam itu.
Kini aku sudah resmi memakai seragam putih-abu. Namun sayang, tak satupun di antara kelima sahabatku yang diterima di SMA yang sama denganku saat ini. Walaupun begitu, kami masih sering berkomunikasi meskipun hanya sekedar lewat pesan singkat WhatsApp ataupun di sosial media lainnya.
Kini aku sudah punya sahabat-sahabat baru dan juga aktivitas baru yang sama sekali berbeda dengan mereka. Tentu saja mereka pun juga begitu. Sedang mulai menikmati lingkungan dan suasana baru dengan orang-orang yang baru pula.
Hari Sabtu ini kami berencana berkumpul setelah sekian lama tak bertemu di dunia nyata. Kebetulan hari itu adalah perayaan ulang tahun Delia. Tentu saja tak mungkin aku melewatkan untuk datang ke acara itu.
Dengan menaiki ojek online yang sudah ku pesan, aku pergi ke rumah Rissa. Di sana Novia sudah lama menunggu. Kebetulan rumah Rissa dan Novia masih satu komplek, mereka sudah bersahabat sejak TK sampai sekarang SMA pun mereka selalu sekolah di tempat yang sama.
Sesampainya di rumah Rissa aku disambut hangat oleh orangtuanya Rissa. Melihat Rissa dan Novia yang dulu biasanya kutemui hampir setiap hari rasanya ingin membuatku memeluknya. Aku sangat merindukan sosok mereka. Meskipun di sekolah baru aku sudah memiliki banyak teman baru, tentu saja tidak ada satupun yang dapat menggantikan posisi mereka sebagai sahabatku.
Setelah ngobrol sejenak, akhirnya kami pergi menuju rumah Delia dengan menaiki taksi online. Tak lama, kami pun sampai di rumah Delia karena jaraknya kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah Rissa.
Setibanya di rumah Delia aku langsung berlari ke arah Delia dan langsung segera memeluknya, aku sangat rindu Delia yang sangat percaya diri dan suka bercerita tentang banyak hal termasuk gossip dari orang-orang yang bahkan tidak pernah aku kenal. Di dalam rumah Delia sudah ada dekorasi sederhana, namun menurutku cukup cantik. Di sana ada kedua orang tua Delia dan dua adik perempuannya. Juga ada seorang cowok bernama Akbar yang kusimpulkan adalah pacar barunya Delia, tiga orang teman dari sekolah barunya yang kemudian ku ketahui bernama Alissa, Fina dan Yuni.
“Cuma dikitan yang diundangnya Del?” tanyaku.
“Iya emang cuma kalian doank. Sengaja emang sederhana.”
“Anita belum dateng ya?” tanya Rissa saat tak menemukan ada sosok Anita disana, padahal di antara kami rumah Anita-lah yang justru lokasinya paling dekat dengan rumah Delia.
“Dia ada acara dulu, jadi palingan agak sore. Nyusul datengnya, jadi ga usah kita tunggu. Kita mulai aja ya acaranya.” Begitu jawaban Delia saat itu.
Aku sendiri sebenarnya tidak sedikitpun merasa curiga dengan jawaban Delia, hanya saja entah mengapa justru Rissa lah yang paling curiga dengan jawaban Delia.
“Delia sama Anita ada masalah apaan sih? Bukannya sebelumnya mereka deket banget ya?” tanya Rissa sambil berbisik ke telingaku.
“Tau deh.” Jawabku singkat. Tidak tahu harus menjawab apa.

*          *          *

Acara perayaan ulang tahun Delia telah berakhir. Teman-temannya Delia sudah pulang sejak tadi, sepertinya mereka megerti dan memberikan kesempatan untuk kami berkumpul kembali. Tinggal Delia, Rissa, Novia dan aku yang masih tersisa disini. Aku sudah minta izin bunda untuk menginap di rumah Delia. Kini aku sudah SMA, sehingga bunda sudah tidak terlalu over protectif mencemaskanku.
Kami masih duduk mengobrol di gazebo yang menghadap sebuah kolam ikan di halaman samping rumah Delia. Udara malam yang cukup sejuk, dengan pemandangan langit yang cukup mendung dan hanya tampak beberapa bintang.
Rissa menghentikan obrolan kami, dia langsung berlari kecil menuju gerbang dan memeprsilahkan sebuah sepeda motor masuk. Tampak Kak Chandra dan seorang temannya berjalan menghampiri kami.
“Selamat ulang tahun ya Del. Nambah tua aja nih.” Ucap Kak Chandra.
“Selamat ya Del, koq gue ga diundang sih?” ucap temannya Kak Chandra.
“Makasih ya udah nyusul dateng, bukannya ga mau ngundang tapi kan emang cuma syukuran sederhana.” Jawab Delia.
Setelah mempersilahkan mereka bergabung dengan kami, Delia masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Novia. Entah hendak melakukan apa atau pergi kemana aku tidak tahu.
“Hellow Vanny, apa kabar nih?” tanya Kak Chandra ramah.
“Baik kak, ga pernah ketemu ya? Padahal sekolah kita kan searah.” Jawabku.
“Iya nih, ga pernah kebeneran ketemu meskipun cuma sekedar papasan di jalan. Oh iya kenalin temen aku.” Ucap Kak Chandra seraya memperkenalkan temannya.
“Yoga” ucapnya memperkenalkan diri.
“Silvanny” jawabku memeprkenalkan diri.
Kemudian kami mengobrol ringan tentang beberapa hal. Hanya sekedar basa-basi.
Di tengah obrolan kami, tiba-tiba gerbang rumah Delia terbuka. Otomatis pandangan kami langsung beralih. Muncul sosok Anita sambil berjalan menghampiri kami.
“Sorry banget ya gue telat datengnya, tadi abis nonton anak cowok di sekolah gue maen futsal, kirain cuma bentar ternyata lama. Ini juga susah banget maksa dia buat dateng kesini.” Anita mencoba menjelaskan pada kami.
Ekor mataku menangkap sosok cowok yang datang bersama Anita. Entah mengapa sosok itu nampak agak kurang ramah dalam pandanganku.
“Delia mana sih?” tanya Anita polos.
“Di dalem sama Novia, lagi ngapain gitu blom lama koq masuknya.” Jawabku namun masih fokus pada sosok cowok yang datang bersama Anita.
“Van gabung sini.” Sahut Kak Chandra memanggil sosok cowok yang datang dengan Anita, mempertegas sosok yang aku bayangkan.
Cowok itu mendekat ke arah kami, aku tak sadar menahan napas namun mataku masih tetap tertuju padanya.
“Beib sini donk gabung. Kayak apaan aja sih malah diem disitu.” Anita menggandeng dan setengah memaksa cowok itu untuk masuk.
“Beib?”entah mengapa kalimat itu meluncur begitu saja padahal hanya terpikir dalam benakku.
“Iya sekarang dia pacar gue, lo udah pernah kenal dia kan?” tanya Anita polos. Aku memang tidak pernah membahas tentang hubungan singkatku dengan Kak Revan pada Anita. Namun entah kenapa melihatnya malam ini justru membuat dadaku sesak.
Delia dan Novia datang membawa beberapa macam cemilan dan air mineral kemasan gelas untuk kami.
“Del sorry gue telat. Tadi si Revan maen dulu futsal, terus susah banget diajak kesininya.” Ucap Anita begitu melihat sosok Delia.
Anita langsung memberinya pelukan selamat dan memberikan sebuah bingkisan kado ulang tahun untuk Delia.
Delia menerimanya, meskipun aku tetap merasa ada kecanggungan di antara mereka yang tidak pernah ku tahu apa itu.
Malam itu kami hanya ngobrol ringan tentang beberapa hal tentang dunia baru kami, sesekali kami bercerita tentang beberapa hal yang saling berkaitan atau tak berkaitan sama sekali. Kami memang beberapa bulan ini hanya bisa berkomunikasi lewat sosial media, tidak secara langsung tatap muka seperti biasanya. Namun saat kami berkumpul, waktu yang terpisahkan itu seolah tidak pernah ada. Bahkan saking asiknya kami membahas beberapa hal, kami bahkan tidak sadar bahwa ada empat orang cowok di sana yang sama sekali ga mengerti obrolan kami namun masih tetap ikut nimbrung dengan obrolan kami.
Saat itu aku yakin bahwa Kak Revan banyak mencuri pandang melirik ke arahku, padahal jelas sekali dia duduk bersebelahan dengan Anita dan tidak langsung berhadapan arah denganku. Aku yang saat itu sadar kalau Kak Yoga sedang mencoba mendekatiku entah kenapa malah memanfaatkan situasi itu. Kadang aku sengaja ngobrol berbisik ke telinganya, atau sengaja meladeni jokes ga jelas darinya.
“Eh kita foto dong, mumpung formasi lengkap.” Usul Novia tiba-tiba.
“Eh iya dari tadi kita belum foto bareng. Kak fotoin deh!” Rissa langsung memberikan ponselnya kepada Kak Chandra.
Beberapa foto diambil, juga sebuah video ucapan selamat untuk Delia yang kami unggah di Instagram.
“Kita ikutan foto donk!” Kak Chandra mengambil inisatif sambil langsung mengubah posisi kamera belakang menjadi kamera depan dan mengangkat tangannya untuk posisi membidik foto. Kami semua reflex saling mendekat agar wajah kami bisa masuk ke dalam layar kamera.
“Chan, fotoin gue sama Sisil donk!” sahut Kak Yoga meminta.
“Sisil” batinku teringat sesuatu. Namun aku mengabaikannya dan langsung memasang posisi untuk berswafoto.
“Coba liat fotonya donk.” Ucapku setelah selesai mamasang beberapa pose konyol bareng Kak Yoga.
Aku memang belum memutuskan untuk meladeni Kak Yoga yang jelas-jelas sedang berusaha mendekatiku, namun dia orang yang asik jadi akupun berusaha untuk tidak canggung terhadapnya.
“Wah Vanny yang sekarang udah berani ya?” komen Delia tiba-tiba.
“Iya nih, Vanny yang sekarang udah banyak perubahan. Udah ga jaim lagi kalo deket cowok. Udah berani full ekspresi juga.” Novia ikut mengomentariku.
“Iyalah namanya juga hidup, kita harus bisa berubah. Jadi anak baik itu rugi, disakitin terus.” Jawabku ngasal sambil mencoba tertawa menjawab komentar mereka.
“Gue aja sampai agak pangling loh liat perubahan lo sekarang derastis banget. Berani pake baju ketat, pake lensa kontak, pake make-up.” Anita malah ikutan berpendapat.
“Apaan sih Ta, orang cuma bedakan sama lipgloss doank. Baju gue juga ga ketat koq ini, normal koq tren baju zaman now.” Jawabku menjelaskan.
“Tapi makin cantik loh Van.” Rissa menambahkan.
“Iya donk, itu sih harus. Perawatan biar makin cantik, biar makin banyak yang naksir.” Entah kenapa aku sangat ingin menjawab dengan membanggakan diriku, bukan seperti aku yang biasanya.
“Resiko kalo sekolah di sekolah elit gitu ya, mau ga mau kepaksa harus ngikutin gaya dan pergaulan disana.” Kak Chandra malah ikutan menambahkan.
“Emang sekarang yang lagi ngecenginnya ada berapa orang? Gue udah masuk itungan belum ya?” Kak Yoga tak mau ketinggalan ikut mengomentariku.
“Ini kan yang lagi ultahnya Delia, kenapa gue yang dibahas ya?” sahutku memasang muka bete sambil mencoba mengalihkan pembicaraan.
Kami lalu kembali beralih topik pembicaraan.
Malam itu Kak Revan tampak lebih pendiam dari malam sebelumnya waktu terakhir kami sedang berkumpul di rumah Anita.
“Del gue balik duluan ya? Padahal masih seru. Cuma kasian Kak Revan katanya udah keburu cape, kan tadi abis main futsal.” Anita mencoba berpamitan.
“Lo tumben ga ikutan nginep? Biasanya lo paling males balik ke rumah” tanyaku.
“Ortu gue lagi ada di rumah, makanya gue ga bisa pulang terlalu malam. Nih juga udah di WhatsApp ditanyain terus mau pulang kapan.” Jawab Anita membela diri.
“Yaudah hati-hati, makasih udah dateng ya Ta.” Jawab Delia.
Anita masih berpamitan dengan kami satu persatu, namun Kak Revan langsung menuju motornya tanpa sama sekali berpamitan pada kami semua. Anita langsung buru-buru menyusulnya.
“Guys kita duluan ya..!” ucap Anita setengah berteriak sambil melambaikan tangannya.
Kak Revan hanya membunyikan klakson motornya dan seketika itu juga motor mereka keluar gerbang menuju jalan raya dan segera hilang dari pandangan.
“Kita juga pulang deh, ga enak sama orangtua kamu udah terlalu malam. Ga enak sama tetangga juga.” Kak Chandra malah ikut berpamitan.
“Gue juga balik ya Bee.” Akbar turut bangun dari posisinya.
“Yah koq malah bubar sih?” Delia tampak protes dengan situasi ini.
“Udah malem juga Del, gue juga udah pengen mandi nih.” Sahutku berkomentar.
Akhirnya acara kumpul malam itu berakhir. Kami langsung bergegas masuk dan menuju kamar Delia.

*          *          *

Di dalam kamar Delia, kami masih melanjutkan obrolan kami. Aku masih menggunakan handuk piyama karena baru selesai mandi, uap panas dari tubuhku bahkan masih terasa.
“Lo masih kebiasaan kalo ga mandi sore ga akan bisa tidur?” tanya Rissa padaku.
“Ga tau kenapa bawaannya ga bisa tidur kalo blom mandi, kotor dan lengket aza rasanya.” Jawabku.
Delia dan Novia sedang mengobrol tentang orang yang tidak aku kenal. Maka aku memilih hanya untuk ikut menjadi pendengar setia. Rissa sedang duduk di tepi kasur sambil memperhatikan layar ponselnya.
“Kirimin fotonya ke grup WhatsApp donk Sa.” Ucapku saat mengetahui bahwa Rissa sedang melihat hasil jepretan tadi.
Tak lama ponselku bergetar tanda foto yang dikirimkan Rissa sudah masuk ke pesan. Novia dan Delia langsung mengambil ponselnya dan sibuk memilih foto terbaik mereka yang akan mereka jadikan snap di sosmed.
Aku yang baru selesai memakai piyama tidurku lebih memilih untuk mengambil milk cleanser dan toner untuk membersihkan wajahku dari pada harus membuka ponsel.
“Lo sekarang perawatan? Mau ribet pake beginian?” tanya Delia yang tampak aneh dengan aktivitasku saat itu.
“Gue kan anak Paskibra, sering banget panas-panasan kena sinar matahari langsung. Kalo ga dirawat bisa item muka dan badan gue.” Jawabku sambil tetap melakukan aktivitasku membersihkan muka.
Hening sejenak, semua orang kembali sibuk dengan aktivitasnya.
“Del lu lagi ada masalah apa sama Anita? Koq gue ngerasa ada yang beda ya di antara kalian?” tiba-tiba Rissa berkomentar.
“Ga ada apa-apa koq.” Jawab Delia singkat, namun dia tampak memalingkan pandangan dari layar ponsel yang sebelumnya sedang dilihatnya.
“Ga usah bohong deh, kita semua tahu banget kalo lo sebelumnya emang deket banget sama Anita. Ga kayak tadi, canggung gitu.” Aku ikut berkomentar.
“Ceritalah Del.” Novia memaksa.
“Sebenernya sih ga ada apa-apa. Cuma gue bete aja sama dia. Apapun yang gue suka dia juga pasti suka, kalo gue lagi deket sama cowok dia juga pasti langsung ikut ngedeketin cowok itu. Awalnya sih gue nyangkanya saking kita tuh sehati banget makanya banyak kesamaan. Tapi lambat laun gue jadi mikir kalo dia itu kayak ga mau kalah, mau nguasain apapun yang gue suka dan gue mau.” Delia menjelaskan sambil terlihat sedikit menahan rasa kesal yang mungkin sudah lama dipendamnya. “Gue baru tahu kalo sebenernya dia itu selalu merasa paling segalanya dan harus selalu jadi yang utama di antara kita. Dia pasti ngerasa bete kalo kita lebih unggul dalam hal apapun dari dia.” Delia melanjutkan.
“Masa sih dia gitu?” tanyaku masih belum faham dengan situasi ini.
“Gue tau itu dari temen gue yang sekarang satu sekolah sama Anita. Dia kadang suka nyeritain kita, tapi dengan pandangan seolah dialah ketua gengnya dan yang paling menonjol di antara kita. Malah, dia pernah beberapa kali jelekin gue.” Delia tampak makin kesal menceritakannya. “Gue rasa ini ada hubungannya sama Yudhis dan Fandy. Yudhis itu kan mantannya Anita, udah lama mereka putus, tapi Anita masih ngarep kalo mereka bisa balikan tapi Yudhis malah jadian sama gue. Nah abis itu, kita ga sengaja ngecengin Fandy padahal kita ga sempat pacaran sama sekali.”
Aku mencoba mengingat sosok Yudhis dan Fandy, sambil mencerna apa yang diceritakan oleh Delia. Kami terdiam sesaat, sepertinya semua orang sedang mempertimbangkan pendapat Delia.
“Lo sejak kapan putus sama Revan.” Tiba-tiba saja Delia mengajukan pertanyaan itu.
“Hah…?” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Kalian pernah jadian kan?” Rissa meminta penjelasan.
“Iya kalian kapan putusnya? Eh tau-tau sekarang udah jadi pacarnya si Anita lagi.” Novia ikut berkomentar.
Ketiga mata sahabatku tertuju padaku, berharap meminta penjelasan.
“Kita ga pernah putus, atau tepatnya sejak awal mungkin kita ga bisa dikatakan benar-benar jadian.” Jawabku bingung dengan situasi ini.
“Maksudnya?” tanya Delia penasaran.
“Kak Revan emang sempet nembak gue waktu di rumah Anita, dan gue sempet nerima perasaanya meskipun waktu itu gue ga tau apakah dia serius atau sedang bercanda. Kalian taulah waktu itu gue baru pertama kali ketemu dia, belum tau juga dia orangnya kayak gimana. Jadi ya emang dari awal ga terlalu dianggap serius.” Jelasku.
“Tapi dia punya nomor WhatsApp lo kan? Dia tau akun sosmed lu kan? Emang ga pernah kontekan? Ga pernah saling ngabarin, janjian atau jalan bareng?” kali ini Novia malah yang lebih penasaran.
“Dia punya nomor kontak gue. Bulan pertama kita masih suka saling kirim pesan atau video call di WhatsApp, kita pernah sekali jalan berdua cuma buat sekedar makan di cafĂ© dan nonton. Bahkan gue masih nyimpen foto waktu itu. Dan abis itu kita ga pernah saling menghubungi. Padahal malam itu ga ada hal yang terjadi, semuanya berjalan biasa aja.” Aku mencoba menjelaskan hal yang sebenarnya aku sendiri pun sudah tidak begitu jelas mengingatnya.
“Lo sendiri sekarang pacar siapa Vi?”aku balik bertanya pada Novia sambil mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Masih ga punya pacar sejak terakhir putus sama Dito, gue kan orangnya ga murahan kayak si Delia. Hari ini putus juga besok udah bisa punya pacar baru.”jawab Novia menyindir.
“Makanya move on dong Vi, jangan inget mantan terus, dia juga udah punya pacar lagi.”Delia malah balik menyerang Novia.
Obrolan tentang Anita pun teralihkan dengan pendapat Novia dan Delia.
“Van, kata Kak Chandra minta kontak lo boleh ga?” tanya Rissa sesaat setelah menerima pesan WhatsApp dari pacarnya.
“Buat apa?”jawabku balik bertanya.
“Katanya Kak Yoga maksa minta.” Jawab Rissa lagi.
“Ya udah kasih aja.”balasku singkat.
Aku memang bukanlah orang yang pemilih dalam berteman, aku baik pada siapaoun yang ingin berteman dan kenal denganku lebih jauh. Masalah nanti apakah dia berharap lebih dari teman atau apa itu urusan nanti. Aku hanya tidak ingin menjadi orang yang sombong, itu saja.
“Van…”panggil Delia terpotong. Dia masih fokus pada pesan singkat di ponselnya.
Aku langsung mendongak ke arah Delia.
“Si Revan ada di depan, katanya ada yang mau dia omongin sama lo.”ucap Delia ragu sambil menatap ke arahku.
“Ngomongin apa sih? Emang kita pernah akrab?”jawabku agak nyolot.
“Ga tau, katanya penting.”jawab Delia lagi.
“Bilangin sama dia, udah malem ga enak sama ortu dan tetangga.”entah kenapa mendengar namanya saja aku jadi emosi.
“Baru jam delapan, waktu itu lewat tengah malem lu mau pergi sama dia.” balas Delia lagi menyindirku. “Lagian ortu gue woles koq. Sana gih temuin dulu! Beresin dulu masalah kalian.”tegas Delia lagi.
“Gue beneran udah males ngebahas dia lagi Del. Gue udah lupain masalah itu dari lama. Waktu itu gue hanya sakit hati, gue hanya mikir mungkin emang guenya aja yang terlalu baper. Hidup gue udah normal lagi, gue udah lupain itu semuanya. Tapi kalo sekarang dia kayak gini lagi hati gue sakit.” Jawabku menahan tangis.
Rissa langsung mengelus punggungku menenangkan. Menatap Delia dengan tajam dan menggelengkan kepalanya seolah memberi isyarat agar jangan memaksa aku untuk ketemu sama Revan.
“Ya udah kalo gitu gue aja yang nemuin dia.”Novia berdiri dari posisinya.
“Ga usah Vi. Biar gue aja.”aku berusaha mencegah Novia. Aku ga mau masalah ini menjadi semakin ribet kalo Novia malah turun tangan memarahi Revan.
“Lo yakin? Ga papa?”tanya Rissa meyakinkanku.
Aku menghirup nafas panjang dan menghembuskannya.

*          *          *

Aku berjalan ke arah gerbang rumah Delia. Kebetulan halaman rumah Delia cukup besar, sehingga jarak dari rumah menuju gerbang cukup jauh. Di belakangku ada ketiga sahabatku yang akan menungguku di depan teras, bersiap untuk bertindak jika terjadi sesuatu padaku.
Aku membuka gerbang dan langsung menutupnya. Tampak Kak Revan dan motor matic kesayangannya.
“Mau ngomong apa? Gue ga punya banyak waktu, langsung aza.”ucapku ketus.
“Bisa ga ngobrolnya di tempat lain aja? Ga enak ngobrolnya kalo sambil berdiri disini.” jawabnya seolah tidak terjadi apapun di antara kami.
“Ga usah, di sini aja biar ga lama. Cepetan mau ngomongin apa?”aku masih ketus.
“Gue mau jelasin soal Anita---“ belum selesai dia menjelaskan aku sudah memotongnya.
“Soal hubungan lo sama Anita? Selamat ya.”potongku sambil mengacungkan tangan untuk bersalaman.
Revan menerima uluran tanganku kemudian menurunkannya.
“Itu ga kayak yang lo pikirin Sill. Antara gue dan Anita ga pernah ada hubungan apapun.”jelasnya sambil meraih tanganku.
“Gue ga peduli, toh dari awal kita juga ga pernah ada hubungan apapun, jadi lo ga usah jelasin apapun sama gue.” Aku menepis tangannya.
“Iya gue tau gue salah, gue bingung mulai dari mana harus ngejelasinnya.” Ucapnya.
“Ga usah coba ngejelasin koq, udah jelas.” Jawabku ketus.
“Maafin gue Sil.” Ucapnya lagi, mencoba menarik tanganku.
Lagi-lagi aku menepis tangannya. Dengan tatapan membunuh -- seolah mengatakan gue ga takut sama lo, lo udah berani nyakitin gue sekarang saatnya gue balas dendam -- aku mendongakkan wajahku menghadap wajahnya meskipun harus tengadah karena tinggi kami yang tidak seimbang.
“Hidup gue selama ini baik-baik aja, gue ga terpengaruh dengan lo yang tiba-tiba ilang dan ga pernah ngasih kabar. Jadi lo ga usah ge-er merasa jadi orang penting dalam hidup gue! Sedetik pun gue ga pernah inget apalagi mikirin lo, duh ga penting banget.” Kali ini aku berbicara panjang lebar.
Kak Revan mencoba tersenyum “Syukur deh kalo gitu, gue tenang dengernya. Maaf gue udah salah faham.” Ucapnya kemudian.
Aku tersenyum ketus. Kemudian meninggalkannya di balik pintu gerbang.
Sesungguhnya hatiku sakit saat itu. Hanya saat itu. Karena sejak awal pun aku memang tidak pernah benar-benar sepenuh hati dengannya